Kamis, 18 Juni 2015

aku menatapnya, malah ingin aku bisa tidak, sanggup tidak melawan tarikan kumparan magned gaib yang disebut kasih sayang.
Dadaku berdentuman, ada rasa sesak, ketika tarikan itu mencoba menarik dan meremas-remas jantungku, aku berusaha bertahan dalam logika totalitas kesadaran, dan perlahan gelombang magnet yang ada di wajah Lina terlihat biasa di mataku. Ku lihat masih ada getaran kecil di bibirnya karena luapan perasaannya.
“Kau kan belum tau siapa aku, terlalu jauh penilaian yang kau berikan, aku tak mau kau akan menyesal nanti, sebaiknya pikirkan dengan pikiran jernih.” kataku meredakan gejolaknya.
Orang yang mudah terseret pada satu keadaan, maka sulit bila menjadi pengayom dan pelindung orang lain, dan aku harus berlatih mengendalikan perasaanku sendiri.
“Mbak Lina ini kan belum tau secara keseluruhan, jadi dipikirkan dulu, sebab banyak sifat burukku, nanti jangan sampai penyesalan akan terjadi, dan itu sudah terlambat.” jelasku.
“Ya kita kan bisa pacaran dulu.” jelasnya juga tak mau kalah.
“Hm pacaran? Walau aku sendiri suka pacaran, tapi aku sekarang jika menyukai perempuan, maka akan ku nikahi saja, tak pakai pacaran.”
“Nah tu kan.!”
“Tuh kan kenapa?” tanyaku.
“Ya kelihatan, mas bukan lelaki yang jelek budinya.”
“Haha… bilang begitu, kamu anggap sudah baik budinya, wah dangkal dong nilai suatu budi pekerti yang baik, semua lelaki juga bisa mengucapkan seperti yang aku ucapkan, suatu budi pekerti yang baik itu perlu menjalani perjalanan panjang, untuk tau jelek atau baik budi pekerti seseorang, seseorang yang budi selalu memberimu barang berharga saja belum tentu dia budi pekertinya baik, sebab bisa saja dia ada maksud di balik pemberian-pemberiannya, orang yang selalu menemanimu, kesana kesini, membantumu, selalu kelihatan di depanmu murah senyum, bisa jadi di belakang dia menikammu, jadi budi pekerti seseorang itu tidak bisa di tentukan dengan sekali dua kali pertemuan, seseorang itu bisa di ketahui baik atau tidaknya, jika kau telah mengumpulinya dalam bersama mengecap keprihatinan, dan bersama memetik kebahagiaan, bisa saja seseorang itu jika dalam keprihatinan bisa seiya sekata, tapi jika ada emas di tanganmu, maka dia tak segan-segan menghunjamkan belati di jantungmu, jika kau maju, bisa saja dia iri dan berusaha menjatuhkanmu, aku jadinya kok banyak omong ya..!” kataku.
“Gak, aku suka, setahun sekalipun jika mas Ian bicara di depanku, aku akan rela duduk selalu mendengarkan.”
“Ah kau ngaco aja…, udah ah, tuh pemilik sepatu bata liatin kita, kamu balik ke butikmu sana gi…” kataku,
“Ntar istirahat siang, ke tempatku ya mas…, aku dah sediain makan siang spesial.”
“Iya entar aku kesana, sama Edy, juga Ikrom ya..?” tanyaku.
“Nggak mas sendiri.”
“Iya…, ntar habis sholat dzuhur aku kesana.” biasanya setiap siang ada istirahat 1 jam, dan penjaga toko bergiliran.
Rasanya dunia seperti ini benar-benar bukan duniaku, kalau aku tidak segera pergi meninggalkannya, sepertinya aku akan terseret pada pusarannya, aku harus mengambil keputusan final.
perempuan, bener-bener bisa membuat hati bercabang-cabang, herannya juga kenapa selalu lelaki normal suka sama perempuan, dan aku termasuk lelaki normal, tapi di dasar hatiku yang tengah bergulat selalu ada perang batin, perang antara menyenangkan nafsu, dan berusaha tak dikendalikan nafsu, dan terus terang kelemahan terbesarku adalah tak bisa tidak suka pada perempuan, karena aku lelaki, dan perempuan lawan jenisku, jika aku dicoba keimanan, maka aku akan memilih jangan dicoba dengan perempuan, sebab kebanyakan aku pasti yang kalah, tak bisa menolak cinta mereka, tak bisa menyakiti mereka.
Benar kalau Nabi sendiri menekankan, seakan ada unsur ancaman di dalamnya: MENIKAHLAH, MENIKAH ADALAH SUNNAHKU, SIAPA YANG TIDAK MENIKAH BUKAN TERMASUK GOLONGANKU.
Aku merasakan seakan Nabi mencintai Ummatnya dalam penekanan itu, agar umatnya tidak tergoda dengan lawan jenisnya, sebab beratnya godaan itu, sehingga Nabi menekankan ancaman yang tidak menikah bukan golongannya.
“Ada apa mbak nyari aku? Mau ngajak nikah ya..” aku mengucapkan dengan kata enteng.
“Eh kamu ngigau ya…?” kata Lina dan matanya menatapku dengan jeli, dan bening matanya seperti kilatan-kilatan listrik yang menggetarkan nadiku.
“Kenapa memandang aku seperti itu? Apa di wajahku telah tumbuh bunga?” kataku asal.
“Hm… kamu cakep.” katanya seperti dengan ketidaksadaran, karena pandangan matanya tak lepas dari wajahku seperti mata pisau yang mau mengoperasi kulit wajahku lalu menguraikan dagingku untuk mencari di dalam ada apanya.
“Kamu serius?” katanya kemudian dengan juga seperti seorang penantang, dadanya dibusungkan.
“Serius apa?” tanyaku, kubuat bloon, sebab aku sendiri tak berani menerima kenyataan, misal sampai terjadi menikah sama Lina.
“Ya soal nikah.” jawabnya setengah menggantung.
“Aku kan cuma nanya, Mbak Lina nyari aku, ada apa?” jawabku sambil membetulkan sepatu di jejeran rak pemajangan.
“Udah sini lihat aku.” katanya menarik tanganku.
“Maas…! Mas Ian..! ” panggilnya memaksaku mengalihkan perhatian dari deretan sepatu.
“Iya ada apa? Kita kan bisa omong sambil menata sepatu, soalnya ini tanggung jawabku, kerja di sini,” jelasku.
“Pindah aja kerja di tempaku, bagaimana?” katanya lembut.
Wah setan itu kalau kita mau berbuat dosa, nyatanya peluang ke sana dibuat semulus mungkin, ya mungkin saja jika di depan ada pohon perdu, setan akan berusaha menebanginya, kalau jalan dosa itu belum teraspal, setan akan berusaha mengaspalnya.
“Gak ah, ntar malah terjadi yang enggak-enggak.” kataku membuat batasan.
Aku bukan orang suci, dan hatiku amat pekat dilapisi nafsu, pandanganku saja jika melihat perempuan masih selalu terfokus pada kesempurnaan bentuk tubuhnya, jelas aku orang yang masih mudah sekali tergoda, jika aku tak membuat kendali sendiri, apa aku harus menunggu orang lain membuat kendali di leherku?
“Mas…!”
“Iya… ada apa? Bicara aja.” jawabku sambil tetap menata sepatu, anehnya dia malah memiringkan sepatu yang tatanannya udah ku benarkan, dia buat miring sehingga kami berdua muter-muter di situ-situ saja, padahal toko sepatu bata ini luas sekali.
“Terus terang, aku sayang, cinta, tak bisa melupakan mas…, siang malam selalu ku ingat, sehari tak bertemu, serasa kangeeen minta ampun, aku tak tau, tak sebelumnya aku dengan cowok lain seperti ini, aku merasa mas inilah yang terbaik untuk hidup dan masa depanku, yang pantas menjadi imamku, yang pantas membimbingku.” Lina mengutarakan semua unek-unek di hatinya, dan jongkok di depanku, karena aku juga sedang jongkok menata sepatu yang di bawah.
Aku menatap wajahnya, dan kulihat matanya menatapku dengan penuh cinta menggelora, tatapan yang seakan ada ribuan bintang di setiap inci matanya, dan aku amat tahu, jika aku menatap lama-lama, pasti akan membuatku hanyut oleh keindahan, wajah yang dibalur aura cinta memang adalah lain daripada yang lain.
mending ngomong ngaco, daripada diam kayak batu, bisa-bisa dianggap arca, trus digotong orang ditaruh di Klenteng, ckakakak…”
“Ah jangan ngomong ngaco ah, trus kalau semua tak kamu jadikan istri kan pasti yang tak jadi istrimu akan sakit hati?”
“Kan aku terbuka, mereka mau jadi cewekku, kan udah aku ceritain semua tentang aku, lagian aku udah ngenalin antara satu dengan yang lain.”
“Bener-bener tak habis pikir aku Yan.., wah jangan-jangan kamu pakai ilmu pelet? Wah jangan-jangan juga aku kamu pelet?”
“Pelet semar ngakak? Ya kamu ngerasa dipelet enggak?”
“Bener aku ingat kamu terus.” katanya serius.
“Kalau malam ingat sampai kebawa mimpi?” tanyaku.
“He-eh.” jawabnya manggut.
“Wah kamu dah kena penyakit cinta, ckakakak…” kataku dan Eka pun mencubit lenganku.
Itulah aku dengan Eka selalu terbuka lepas, tapi betapapun Eka sayang padaku, tapi kami tak pernah menjalin asmara, karena aku tak pernah mau memutuskan sepihak pada pacarku, dan hubungan kami sebatas sahabat, sahabat yang saling mengerti, sampai aku bertaubat, dan meninggalkan masa lalu kelam, bayangan Eka pun ikut hilang menjadi masa lalu, masa lalu yang ingin ku hapus dari ingatanku, masa lalu yang hanya ku ingat ketika aku menangis pada satu kekasih yaitu Alloh. Menghaturkan hina dan dosaku yang minta diampuni,
“Yan…! Kenapa kamu menjadi begini…” suara Eka memelukku dari belakang, tak perduli pakaianku yang kotor, tak perduli pandangan aneh semua orang yang ada di setasiun. Aku ingin menjelaskan pada Eka, aku bukanlah Ian yang dikenalnya dulu, tapi aku ragu apa ia akan mengerti.
“Ka… Kamu tak malu dilihat semua orang?”
“Aku tak rela kamu begini Yan…” katanya, tangannya mencengkeram pergelangan tanganku, dan mengajakku berdiri, air matanya meleleh membasahi jilbab coklat mudanya. Dulu Eka bukan gadis yang suka memakai jilbab. Sampai pada pertemuan yang terakhir kami, aku mengantarnya mendaftar di perguruan tinggi. Kami dalam satu bus menuju Surabaya.
“Yan…! Andai kau menghayal punya istri, kamu mengharap punya istri yang bagaimana?” tanyanya dengan tatapan serius ke wajahku.
“Aku?” aku menerawang, “Aku membayangkan punya istri yang sholikhah…, ya setidaknya yang memakai jilbab,” kataku pasti.
“Berarti aku bukan termasuk kategori yang kau harapkan ya?” tanyanya seperti pertanyaan adikku minta permen.
“Ah sudahlah Ka, jodoh kan di tangan yang kuasa, andai kamu jodohku, aku juga tak kan menolak.” kataku tandas.
Tapi sampai di Surabaya, Eka mengajakku ke Butik busana muslim dan dia memborong jilbab.
“Wah untuk apa Ka, jilbab sebanyak ini?” tanyaku heran.
“Untuk persediaan aja Yan, siapa tau, aku jadi jodohmu, hehe…” katanya sambil tersenyum manis, karena salah satu jilbab langsung dia kenakan.
“Hm… Kamu makin cantik aja Ka, kalau makai jilbab.” pujiku tulus.
“Ah yang bener…” katanya dengan pipi bersemu merah.
Dan sekarang, hatiku teriris, Eka menangis di depanku, karena menangisi keadaanku.
“Ya Alloh, ampunkan aku, kenapa kau jadikan hatiku selalu runtuh oleh tangis wanita… Kenapa tak kau uji aku dengan yang lain saja.” keluh hatiku, dan aku seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mengikuti saja, kemana Eka menarik tanganku.
Aku diseretnya masuk depot makan, lalu dia memesan nasi dan sepotong ayam panggang, juga dua gelas es jeruk. “Nih makan… Pasti kamu beberapa hari tak makan….” katanya menyodorkan ke depanku, seperti seorang ibu menyodorkan nasi pada anaknya,
Ku pandangi nasi di depanku, betapa nikmatnya ayam bakar, sambel kecap, air liur begitu saja terkuras dari sela-sela gigi membasahi tenggorokan yang tak sabar ingin menikmati kelezatan.
Tapi aku terpaku, hatiku seperti terbang entah ke mana, ke dunia yang penuh asma Alloh.
“Heh makan..!” kata Eka suaranya seakan jauh, walau tepukannya di pundakku.
“Apa kamu sudah lupa cara makan, nih biar ku suapi…” kata Eka yang segera mengambil piring di depanku, dan mulai menyuapiku, pandangan mataku kosong, aku telah berjalan jauh, jauh, dan teramat jauh, sampai di kedalaman dunia, dunia yang hanya kedamaian, danau menghijau, suara airnya melantunkan ayat-ayat suci, pohon-pohon menghijau, tertiup angin singkronisasi, mengalunkan dzikir dengan suara berirama, embun yang setiap waktu turun dan seakan enggan sampai ke tanah, karena terlena oleh puja puji pada sang khaliq.
Matahari yang bersinar lembut, dengan kehangatan yang seakan diukur oleh dokter paling ahli, sehingga seperti selimut yang membuatku teramat mengantuk dan terlena, dan aku tak sadar lagi.
“Yan…!” suara itu mengagetkanku, suara Eka yang menangis dan memelukku, air matanya membasahi pipi dan bajuku. Aku kaget, segera melepas pelukannya. Ku lihat piring di depanku telah ludes, juga wedang jeruk telah tinggal gelasnya saja.
“Yan., sadar Yan…!” Eka menepuk-nepuk pipiku.
“Aku sadar…” kataku.
“Udahlah Ka… mending kamu tinggalin aku…” kataku.
“Tak bisa, kalau perlu aku akan ikut denganmu…” katanya tegang.
“Kamu ini aneh-aneh aja, ya tak bisalah, kamu lihat sendiri keadaanku, bagaimana kamu mau ikut denganku?”
“Kamu mau lari dari kenyataan Yan? Kamu tak menerima keadaanmu, hingga mau pura-pura gila?” tanya Eka mencari kesepakatan.
“Siapa yang lari dari kenyataan? Bahkan aku sangat menerima kenyataan, sudahlah Ka, jangan ngajak berdebat, untuk saat ini biarlah aku sendiri.” kataku memelas,
“Tapi Yan, aku tak rela kamu begini….” Eka menangis lagi, tanganku diraihnya dan ditempel ke pipinya, ada air mata mengaliri punggung tanganku.
“Kadang sesuatu, harus direlakan, aku juga bukan mau mati, kenapa musti kau tangisi.”
Eka melepas tanganku, dan mencopot gelang, cincin, kalung yang dipakainya dan menggenggamkannya ke tanganku.
“Ini buatlah bekal, jangan lupakan aku.” katanya dan beranjak pergi.
Sekejap aku bengong, tapi segera mengejar ke arah mana Eka pergi, ku lihat dia berdiri di tepi jalan, mencegat bus jurusan Tuban.
“Ka ini apa-apaan,” kataku mengangsurkan segenggam emas ke tangannya.
“Udah pakai untuk bekalmu.” katanya menampik tanganku.
“Gak bisa Ka, kamu mau aku ditangkap Polisi, dengan tuduhan merampokmu?”
“Siapa? Polisi mana yang mau menangkap, kan itu ku berikan ikhlas padamu.”
“Ka… tak bisa Ka…,” ku angsurkan lagi emas ke tangannya tapi dia tolak.
“Maumu apa sih Yan? Aku ikut denganmu tak boleh, aku tak tega kau begini, aku tak bawa uang, biar perhiasanku untuk kau jadikan bekal…, tolong Yan… Jangan kau biarkan aku menangis tiap malam karena mengkawatirkanmu…” Eka menangis lagi.
“Mengapa tak juga kau mengerti, betapa aku menyayangimu, dan teramat menyayangimu…” katanya sambil berjongkok dan menangis sampai tubuhnya terguncang.
“Baik Ka, sekarang apa yang kau mau? Tapi jangan kau suruh aku membawa perhiasanmu…” kataku ikut berjongkok.
Dia membuka tapak tangannya yang ditutupkan ke wajahnya.
“Sekarang ikut pulang ke rumahku.” katanya sambil mengusap air mata yang membasahi pipi.
“Baik, ini terima perhiasanmu dan simpan.” kataku mengangsurkan perhiasan ke tangannya, pas ada bus jurusan Tuban berhenti, dan kami pun segera naik.
Sampai di rumah Eka, aku pun turun dari bus, masih digandeng Eka, dengan tatapan aneh para penumpang bus, sampai di dalam rumah, aku langsung digeret ke sumur, ah biarlah, Eka juga tak akan membunuhku, tatapan bu Asih, dan pak Junaidi, yang ada di kamar tamu, tak digubris, kedua orang itu cuma sempat ngomong, “Lho Ka, kok sama mas Ian….” tapi kata mereka tak dijawab, juga tak sempat aku jawab, aku telah digeret ke sumur, dan air satu timba diguyurkan padaku,
“Udah Ka, aku bisa mandi sendiri,” kataku repot, gelagapan.
“Udah biar aku yang mandiin….” katanya sambil mengambil sampo dan mencuci rambut panjangku yang gimbal.
“Udah Ka… Biar aku mandi sendiri…! Udah ambilin handuk aja.” kataku, ketika Eka mau mencopot kaos lengan panjangku.
Eka tanpa berkata, pergi meninggalkanku, aku telah selesai mandi ketika Eka datang membawa handuk dan pakaian ganti, dan tanpa babibu, dia langsung mengelap rambut dan tubuhku.
“Udah aku ke kamar mandi dulu, mau ganti baju.” kataku mengambil baju ganti dari tangan.
“Ku tunggu di kamar tamu ya, tuh ayah nanyain…” kata Eka dari luar kamar mandi.
“Heeh, udah nanti aku ke sana.” jawabku.
Setelah ganti baju, aku segera ke ruang tamu, pak Junaidi, pegawai pemda, orangnya ramah dan suka bercanda, bu Asih ibunya Eka, seorang guru SMP, mereka berdua pun menyambutku dengan ramah, aku bersalaman dan duduk di kursi.
“Ketemu di mana, dengan Eka dik Iyan?” tanya bu Asih.
“Wah tadi ku temukan di setasiun, lagi jadi gelandangan,” kata Eka, yang baru keluar dari dalam dan membawa sisir, lalu begitu saja menyisir rambutku, ku tolak tapi tetep aja Eka menyisir sambil berdiri di kursi yang ku duduki.
“Udah makan nak Ian? Mbok sana Ka disiapkan makan…” kata pak Junaidi.
“Em… Ku buatkan pecel lele kesukaanmu ya?” tawar Eka masih menyisir rambutku.
“Udah Ka, jangan repot-repot.” jengahku.
“Iya Ka… sana beli lele…” kata bu Asih.
“Dan Eka segera beranjak….”
Tinggal aku dan pak Junaidi, sementara bu Asih masuk.
Sebentar kami terdiam, sampai pak Junaidi membuka pembicaraan.
“Nak Ian, gimana khabar orang tuanya, baik?” tanya pak Junaidi.
“Alhamdulillah baik pak.”
“Ini sebenarnya saya mau tanya ke nak Ian, jangan tersinggung lo ya?” kata pak Junaidi dengan nada hati-hati.
“Tanya aja pak, tak usah rikuh.” kataku tak enak dengan nada kehati-hatian pak Junaidi.
“Begini nak Ian, apakah sebenarnya hubungan nak Ian dengan Eka?” tanya pak Junaidi, sebentar terdiam, “Sekedar teman, atau…. pacaran… Maksudku kekasih.”
“Ya selama ini kami cuma berteman akrab kok pak, tak lebih, juga bukan sepasang kekasih.” jawabku tenang.
“Tapi Eka itu sayang banget sama nak Ian, yang diceritakan tiap hari ke ibunya, hanya nak Ian aja….” tambah pak Junaidi.
“Saya juga sayang sama Eka kok pak, tapi sayang antara sahabat, tak terkotori nafsu birahi, saya menghargai dan menghormati Eka, jika ada yang mengganggu Eka, saya akan membelanya dengan sekuat saya.” kataku masih tanpa emosi.
“Ya kalau begitu bapak mengerti… Silahkan diminum tehnya nak, bapak tinggal dulu…” kata pak Junaidi meninggalkanku.
Sebentar kemudian Eka telah datang membawa ikan lele segar, dan langsung memasaknya jadi pecel lele, kami makan bareng.
Sore itu aku pamitan, Eka dan ayah ibunya memintaku tinggal lebih lama, tapi aku memaksa pergi,
Eka mengantarku sampai jalan raya, dan sampai aku mau naik bus, dia memasukkan amplop ke sakuku.
“Ini untuk bayar bus..” katanya melepasku.
Aku segera naik bus, ketika kondektur minta ongkos bus, aku ingat uang yang dimasukkan Eka ke dalam sakuku, ku ambil satu dan tanpa melihat ku serahkan pada kondektur.
“Wah mas, apa tak ada yang kecil?” katanya.
Aku kaget ternyata yang ku serahkan uang seratusan ribu.
Aku terima uang dari kondektur itu, lalu kembali merogoh ke dalam amplop, tapi tiap ku keluarkan ternyata semua seratusan ribu, wah jadi Eka memberikan uang padaku 1 juta,
“Tak ada yang kecil mas, cuma ini.,” kataku menyerahkan uang seratusan.
Di Bojonegoro kembali aku turun di stasiun kereta api.
tak perlu syarat apa-apa.” kataku. “Cuma perlu persetujuan Ilham aja.”
“Persetujuan apa lagi mas?” tanya Ilham setengah bengong.
“Ya kamu benar-benar sudah ikhlas, jin yang ada dalam tubuhmu ku cabut?” tanyaku menunggu jawaban mantep dari raut wajahnya.
“Kan sudah saya bilang, saya pasrah pada mas Ian, apa yang terbaik, jadi saya rela serela-relanya.” katanya mantep.
“Walau semua ilmumu hilang?” tanyaku.
Ilham sebentar merenung, tapi kemudian berucap, “Sudah saya siap, walau tak punya ilmu, tak apa-apa, yang penting saya bisa hidup wajar seperti orang lain.”
“Baiklah. Sekarang duduk membelakangiku.” kataku, sementara aku berpikir, ah aku ini belum pernah mencabut ilmu seseorang, juga jin yang menyatu karena seseorang mengamalkan ilmu, apakah aku bisa dan mampu?
Ku ingat Kyai waktu mencabut ilmu seseorang, cuma seperti mengambil buah dari punggung orang itu, digenggam lalu dibuang, kalau aku, ah tentu belum bisa setarapan itu, lalu bagaimana? Pikiranku mencari jalan keluar, tapi tanganku perlahan menempel ke punggung Ilham, wirid ku baca tiga kali-tiga kali, aliran hawa panas dan dingin segera menggebu dalam pusarku naik mengalir ke tanganku. Tiba-tiba, tanganku seperti tersedot kekuatan kasat mata di punggung Ilham, karuan tanganku menempel pada punggung Ilham, ku pejam mata, kurasakan tenang dari tubuhku menggulung-gulung masuk tubuh Ilham, aku segera membaca doa khijab dan minta pada Alloh, supaya mukzijatnya Nabi dan karomahnya para wali masuk ke tubuhku, ku rasakan udara dingin, mendekat sejuk mengalir ke setiap pori tubuhku, tangan ku renggangkan ku sedot apa yang ada di dalam tubuh Ilham ku genggam dalam satu tangan, dan tangan kiriku membuat gerakan mengikat, lalu ku lempar jauh-jauh, sementara Ilham menggelosor di kursi, entah pingsan, entah tidur, tapi wajahnya menyiratkan kedamaian.
Ku ambil teh yang terhidang di meja, untuk membasahi tenggorokanku yang lumayan kering, lalu ku nyalakan rokok Djarum yang disuguhkan di meja.
“Bagaimana kang?” tanya Mashur.
“Syukur mas, udah beres, udah biarkan dia tidur.” kataku sambil mengusap keringat yang mengalir di jidat.
“Wah mau minta doanya mas, biar pondok saya ramai.” kata Mashur, ketika kami berdua duduk di emperan mushola, meninggalkan Ilham yang tengah tidur di kursi.
“Ah kita ini sama kang Hur, kang Hur diberi tangan dan kaki dua, saya juga, jadi pada kenyataannya kita ini sama,” kataku,
“Kenapa kang Hur tidak berdoa sendiri, minta pada Sang Kholik agar apa yang kang Hur harap bisa terwujud.”
“Kalau begitu, saya mbok dikasih amalan, biar santri saya tambah banyak.” kata Mashur sambil menyedot dalam-dalam rokok mlinjo.
Aku pun minta pena dan kertas, dan menulis amalan untuk mendapatkan santri banyak.
“Aku sebenarnya nyari tempat untuk nyepi, mengheningkan diri, apa di sini ada?” kataku setelah menyerahkan catatan amalan.
Kulihat Mashur menerawang, lama tak menjawab pertanyaanku.
“Mas Ian mau, ada tempat di pasar Pacul, tempatku yang tak terpakai,” katanya kemudian.
“Yah kita lihat aja dulu…” jelasku.
Dengan naik motor GL aku diantar Mashur ke pasar Pacul, yang telah terlantar tak terurus, dan menunjukkan toko yang telah jebol dinding papannya, yah cukuplah untuk tempatku menyepi, maka malam itu aku mulai membersihkan bekas toko itu, dan ditinggal sendirian di pasar. Ku ambil air di sumur pompa belakang pasar, sedang waktu magrib telah tiba, ku ambil air wudhu dan menjalankan sholat di dalam toko, tapi waktu aku selesai wudhu, seorang jin menghadangku, perawakannya hitam, pakaian sobek-sobek, dan tubuh hitam legam, seperti mandi oli,
“Ada apa kau menghadangku?” tanyaku, sambil mengusap air wudhu yang mengalir di jenggot kecilku.
Wajah tirusnya mengguratkan rasa takut, bibir merahnya dan taring yang mencuat, meneteskan air liur, yang membuatku tak bisa untuk tak meludah, dia mundur, “Ada apa?” tanyaku lagi.
Terdengar suaranya mendengung, seperti suara lebah, tapi dengan nada berat, aku pun membuka batin.
“Aku mewakili, para penghuni pasar ini, kami minta tuan tidak bertempat di pasar ini….” katanya.
“Memangnya kenapa?”
“Kami merasa panas.”
“Kalau aku tetap bertempat di sini bagaimana?”
“Sungguh kami sangat memohon tuan….” katanya dan perlahan menghilang. Aku pun melangkah ke dalam dan melakukan sholat magrib, setelah wirid, aku pun beranjak, keluar, ah mungkin aku tak usah mengganggu keberadaan para jin, aku pun memutuskan pergi, menelusuri jalan sampai ke setasiun kereta api. Setelah sholat isyak di musola setasiun, aku selonjorkan tubuh di kursi setasiun.
Seminggu telah berlalu, aku hidup di stasiun Bojonegoro, tak pernah mandi, tidur seadanya, kadang menggelosor di lantai setasiun aja, jadi tubuh dan lengan panjang, celana jean belel sudah tak karuan warnanya, karena tertempel debu dan oli kereta, juga rambut panjangku lengket dan gimbal, hingga tak jarang orang menyebutku gila.
Aku tak perduli, terlalu terlena dengan robul izati, tenggelam dalam wirid-wiridku, tenggelam teramat dalam, bahkan aku pun tak memikirkan makan, karena memang tak ada sejumputpun rupiah di saku, aku kadang makan sepotong nasi yang jatuh ke tanah,
Kadang juga cuma minum air wudhu, walau seminggu tubuhku telah teramat kurus.
Hari itu hari minggu, setasiun teramat ramai, aku menggelosor aja di lantai, tenggelam dalam wiridku, tiba-tiba tangan halus menepukku dari belakang, “Iyan…? Iyan khan?”
Ku buka mataku yang terpejam, dan menengok ke belakang, seraut wajah gadis cantik nan anggun dengan balutan jilbab coklat tua, membungkuk di belakangku, “Ya Alloh, Ian, kenapa sampai jadi gini….” kata gadis bernama Eka Damayanti, dia langsung memelukku dari belakang.
Eka Damayanti, nama gadis itu, ku kenal waktu aku kelas 2 SMA dan masih aktif menulis di majalah remaja, pertama perkenalanku, dia waktu itu mencari rumahku, dan dia salah satu dari penggemar karya tulisku, aku pulang sekolah ketika Eka berdiri di pinggir jalan menuju lorong rumahku, dia menghentikanku, “Mas… Mas… berhenti…” tegurnya. Aku baru turun dari Angkot.
Aku pun berhenti, dan menunggunya datang menghampiri, saat itu Eka masih belum memakai jilbab, rambutnya diikat dengan pita merah, dan wajahnya anggun, menyiratkan kedewasaan.
“Ada apa mbak?” tanyaku.
“Maaf ngeganggu sebentar, mau tanya nih mas…?” katanya dengan nada datar tapi merdu dan terdengar centil di telingaku.
“Tau alamat ini gak mas?” tanyanya, sambil menyodorkan secarik kertas bertuliskan alamat. Di situ tertulis, Febrian, kulon pon pes Al-alawi Sendang,
“Wah itu aku mbak.” kataku setelah membaca sebaris alamat di kertas yang ditunjukkan padaku.
“Ih yang bener?” katanya tersenyum ceria, dan ada binar bintang di matanya.
“Ya benerlah, masak bohong, tau dari mana tentang alamatku? Perasaan aku tak punya kerabat kayak embak.” kataku menyelidik.
“Aku ini bukan kerabatmu, tapi penggemarmu, kamu penulis khan? Nah aku ini salah satu penggemar beratmu.” katanya menjelaskan dengan mimik yang lucu, kayak guru TK menerangkan pada muridnya.
“Wah jadi malu nih, aku cuma penulis kacangan, karyaku juga cuma ngawur aja, gak bermutu.” kataku salah tingkah.
“Tapi aku benar-benar kagum, sungguh, kamu calon penulis besar.” katanya memuji.
“Wah ini mau ke rumah atau ngobrol di sini aja.” kataku, karena kami dari tadi cuma berdiri di pinggir jalan.
“Eh iya, kayaknya aku juga belum kenal namamu?” kataku setengah bertanya, saat kami berdua menyusuri tanggul paping blok jalan di depan rumah,
“Eka Damayanti….” katanya, sembari menyodorkan tangan mungilnya. Aku pun menjabat erat, penuh persahabatan.
“Febrian, dah tau namaku khan?” candaku.
Dan tak terlalu lama kami pun nyampai depan rumahku. Itulah perkenalanku dengan Eka, dan sejak saat itu kami menjadi akrab, karena Eka hampir tiap minggu main ke rumahku, rumah dia di daerah Rengel, jadi masih satu kabupaten denganku.
Setahun telah berlalu, dan aku telah kelas tiga SMA, dan Eka menjadi salah satu sahabat, yang mengagumiku, dia selalu mensuportku untuk menghasilkan karya-karya tulisku.
Aku teramat terbuka dengan Eka, sampai soal pacar-pacarku Eka juga tau, suatu hari aku dan Eka jalan-jalan ke Tanjung Kodok, “Yan…” kata Eka, ketika kami duduk di bawah tenda dan menikmati es kelapa muda, sambil merasakan semilir udara pantai yang membawa bau air laut yang khas,
“Ada apa?” tanyaku sembari mengeluarkan rokok Djarum merah.
“Umpama kita jadian gimana?” katanya dengan tatapan kepadaku, serius.
“Maksudmu mahluk jadi-jadian?” kataku mencandainya, memang aku paling suka kalau dia mbesengut.
“Ah kamu, aku ini serius.!!” benar juga dia mbesengut, dan dari situ terlihat jelas kecantikannya yang khas.
“Iya… iya, aku ngerti kamu serius.” kataku buru-buru mencegah kemarahannya.
“Trus gimana? Kamu setuju enggak?” tanyanya.
“Kamu tau sendiri lah Ka…, aku kan ceweknya banyak, aku tak tega kalau kamu jadi kemakan hati.”
“Kenapa semua cewekmu tak kamu putusin aja.!?”
“Wah, aku juga tak setega itu untuk memutusin mereka.” memang waktu itu cewekku ada 18 an, ah bisa dibilang raja pelet,
“Wah kamu ini tak tega atau kemaruk, tamak, aku heran juga kenapa mereka, cewek-cewek itu mau-maunya kamu renteng-renteng kayak tasbih.”
“Itu kan urusan mereka Ka,”
“Aku jadi heran Yan…”
“Heran kenapa?”
“Ya, apa mereka semua akan kamu jadikan istri semua…,?”
“Wah la ya enggak lah, mana mampu aku melayani mereka semua, bisa habis darah dihisap dan aku tinggal tulang.”
“Emangnya cewek lintah? Ngaco kamu.”
hari perjalanan, akhirnya aku sampai di kota Bojonegoro, selama dua hari ini aku tidur di alam bebas, juga hanya makan jambu hutan dan pisang yang tumbuh di hutan, jadi perut kempes, tapi aku berusaha untuk tawakal berserah pada yang memberi hidup, sore hari ketiga setelah keluar dari tempat pak Fadhol aku sampai ke Bojonegoro, aku berjalan terus arah selatan terminal lama, aku berjalan sampai di satu mushola daerah Pacul, aku berbelok mengambil wudhu kemudian sholat ashar, setelah sholat aku duduk tenggelam dalam wirid, tiba-tiba di belakangku terdengar piring dan gelas diletakkan di lantai mushola.
Setelah wirid selesai aku menengok seorang pemuda berambut panjang dan berpeci putih tengah duduk, di depannya ada nasi lengkap dengan lauk pauk, umur pemuda itu sekitar 30 tahun, dia tersenyum padaku.
“Mari mas makan dulu,” katanya ramah.
“Wah saya sudah menunggu dari tadi, takutnya mengganggu wirid.”
Aku mengulurkan tangan, mengajak kenalan, “Febrian.” kataku menjabat tangannya.
“Mashur.” ucapnya memperkenalkan diri,
“Sudah ayo makan dulu, ngobrolnya dilanjutkan nanti, sambil makan.” katanya sambil mengangsurkan piring ke hadapanku, kulihat sayur terong, ikan bandeng, sambal trasi sebagai lauk, terasa nikmat.
“Mas Ian ini musafir ya?” tanyanya.
“Iya.” jawabku sambil menikmati makan yang nikmat.
“Kok tau aku musafir?” tanyaku.
“Ada seorang pemuda yang dari kemarin telah menunggu mas di rumahku,” katanya.
“Seorang pemuda?”
“Iya mas, katanya dia mendapat bisikan dari gaib disuruh menunggu mas, pokoknya orang yang ciri-cirinya seperti mas ini, yang akan singgah di mushola ini, itu orangnya masih di rumahku,” kata Mashur menjelaskan.
“Wah ada apa ya?” tanyaku heran.
“Nanti aja tanya sendiri mas ke orangnya, wah ayo mas, nasinya nambah lagi.”
Kami makan dengan lahap, hampir satu bakul kami habiskan berdua, seakan kami ini kenalan lama, di sela-sela makan kami bercanda.
Mashur orangnya supel dan ramah, dia hidup dengan istri dan dua anaknya, punya pesantren kecil di belakang rumah, yang isinya santri-santri yang ada sambil sekolah, juga ada yang sambil kerja. Muridnya cuma 10 orang.
Setelah makan aku diajak menemui seorang pemuda yang katanya telah menunggu kedatanganku sejak kemarin di rumah Mashur. Pemuda itu bernama Ilham, ketika masuk ke rumah Mashur pandang mataku segera menangkap sosok pemuda kurus, ceking, matanya menjorok ke dalam, pertanda telah mengalami berbagai keprihatinan, tapi setelah sebentar mengamati, aku seperti pernah melihat pemuda ini, tapi aku mengingat-ingat sebentar….. yah pemuda ini pernah ada dalam satu mimpiku, entah 3 bulan atau berapa bulan yang lalu, aku telah melihat masa lalunya tanpa aku tau bagaimana caranya, kami bersalaman, dia mencium tanganku, ku biarkan saja.
“Ilham.” katanya menyebutkan nama. Aku juga memperkenalkan namaku. Aku manggut-manggut kulihat aura hitam menggumpal-gumpal melingkupi tubuhnya, dan aku benar-benar ingat pada semua mimpiku.
Dalam mimpi itu aku melihat pemuda ini mempelajari ilmu tanpa guru, jadi dari membaca-baca buku, tanpa pembimbing, dia mengikuti petunjuk buku itu, dia menyepi di salah satu makam yang dikeramatkan, berhari-hari dia menyepi, berpuasa dan menekuni amalan dari buku tersebut, entah di hari yang ke berapa, di suatu malam di makam itu, sendiri dia membaca wirid dari buku, dan datanglah orang tua berjenggot panjang,
“Ngger, aku akan memberikan ilmu padamu, tapi kau harus menghentikan salat 5 waktu, bersediakah kau ngger?” tanya orang tua itu. Ilham pun manggut. Maka orang tua berjenggot itu memasukkan cahaya dari tapak tangannya ke kepala Ilham.
Persis setelah kejadian itu Ilham tak pernah sholat, tapi aneh dia bisa mengobati berbagai penyakit. Waktu berlalu Ilham masih aktif duduk di makam keramat itu, sambil membaca amalan dari buku.
Entah yang ke berapa malam, dia didatangi bung Karno, presiden RI yang pertama, “Ngger Ilham, aku akan memberi ilmu padamu, tapi kau harus mau membakar warung tempat menjual minuman keras di ujung desa.” pesan bung Karno.
Setelah pulang dari makam, Ilham linglung, betapa tidak, bagaimana harus membakar sebuah warung minuman? Bagaimana kalau nanti seluruh desa terbakar? Tapi ini perintah presiden RI, yang akan memberikan ilmu padanya, tiap malam Ilham merenung, tiap hari dia bengong karena suara bisikan yang berkecamuk tumpang tindih dalam hatinya.
Malam itu jam 2 dini hari, Ilham telah bertekat, berangkat dengan motornya dan berbekal bensin 5 liter, dia mendatangi warung bensin di ujung desa, motor dia setandarkan, dia menghampiri warung dan menyiram pinggir dan dinding warung dengan bensin, korek api dinyalakan dan wus, warung pun terbakar, Ilham kabur dan mengawasi dari jauh hasil karyanya, dengan seringai puas, sementara api menjilat habis warung dan segala isinya, rumah di sebelah warung pun mulai terjilat api, untung yang punya rumah segera terbangun dan berteriak kebakaran, jadi satu keluarga masih bisa menyelamatkan diri, orang desa mendengar teriakan kebakaran segera berdatangan bahu membahu memadamkan api, walau tak urung rumah di sebelah warung ludes terbakar, tapi api telah dapat dipadamkan.
Pemilik warung, suami istri dan anaknya yang masih bayi hangus terbakar, tak bisa tertolong lagi. Orang-orang bertanya-tanya apa sebenarnya penyebab kebakaran, tapi tak ada yang tau, Sementara Ilham besok malamnya menunggu di pemakaman keramat, dan bung Karno pun datang menyerahkan sebuah keris. Setelah mendapat keris itu, Ilham makin sakti, kebal senjata, dan dia makin serius di pemakaman keramat, hari-hari berlalu.
Malam itu, Ilham masih tekun membaca amalan, hio telah beberapa kali padam dan dia nyalakan hio yang baru, tiba-tiba tercium bau wewangian teramat harum menyeruak memenuhi seantero pemakaman keramat, baunya amat harum, sehingga membangkitkan birahi, dan perlahan tapi pasti, nampak bentuk perempuan cantik di depan Ilham, cantik tiada terkira, tak pernah Ilham melihat wanita cantik sesempurna perempuan muda yang ada di depannya, biar kata semua artis Indonesia disatukan lalu dikareti, masih tak mampu menandingi perempuan ini, cantiknya sulit digambarkan, sampai biasanya Ilham yang tak begitu doyan cewek, kali ini jakunnya naik turun kayak gergaji, seperti kehausan yang teramat sangat di tenggorokannya, kayak jakun itu kurang oli.
“Apakah kau tak ingin jadi suamiku? Dan tak ingin kaya?” tanya perempuan itu, suaranya merdu, seperti alat musik petik yang dipetik dengan hati-hati takut putus senarnya, atau suling yang ditiup dengan nafas yang telah berlatih menemukan nada terhalus dari suara,
“Ho-oh mau… mau.. mau..” kata Ilham air liurnya sampai membanjir tak karuan, apalagi melihat baju biru tipis yang membungkus tubuh si perempuan, sehingga memperlihatkan samar pemandangan yang membangkitkan birahi.
“Tapi kau harus memenuhi syaratku.” kata perempuan itu, sambil melenggak lenggok di depan Ilham, yang membuat pemuda itu makin empot-empotan.
“Apa…. apa syaratnya..?” tanya Ilham dadanya sesek, ampek nahan nafsu yang membuncah.
“Syaratnya kau harus membakar pasar kecamatan.” kata perempuan itu dan Ilham terlongong-longong sampai perempuan itu sirna dari hadapannya.
Setelah pulang dari makam keramat, Ilham pun linglung, membakar pasar kecamatan Bangilan? Bagaimana mungkin? Tempat orang-orang menggantungkan nafkah keluarga, bahkan ibunya Ilham berjualan pakaian di pasar itu. Tapi ketika terdengar bisikan merdu merayu, dan tercium harum memabukkan, tanpa sadar Ilham pun memacu motornya ke pasar yang berjarak dua kiloan dari rumahnya dengan membawa jurigen bensin, tapi begitu sampai di pasar, kesadaran dan nuraninya menolak, maka dia pun linglung, menggelosor begitu saja di tengah pasar, dan kalau sudah begitu orang-orang di pasar pun ramai, yang susah juga ibunya Ilham harus membawanya pulang dengan becak. Dan hal itu terjadi berulang-ulang, orang pasar pun menganggap Ilham gila, karena terjadi terus menerus. Ilham pun dikunci dalam kamar, kalau bisikan datang dia menggedor-gedor pintu, ingin membakar pasar, tapi kalau kesadarannya muncul maka Ilham cuma merenung bengong,
Telah bermacam dukun dan paranormal didatangkan untuk mengobati, tapi malah ada yang dibanting dan ada juga yang sampai digotong pingsan, itulah yang ku lihat dalam mimpiku.
“Bagaimana kabarnya?” tanyaku setelah duduk di kursi kayu rumah Mashur.
“Ah ndak baik mas.” katanya, dengan pandangan cowong matanya menjorok ke dalam, dan ada kantung mata di sekitar mata Ilham, menunjukkan dia tak pernah nyenyak tidur.
“Hehe…. Kamu kan yang membakar warung minuman keras?” tanyaku sambil tertawa.
“Iya mas.., tentu mas sudah tau keadaanku.” kata Ilham menunduk.
“Kata siapa aku sudah tau keadaanmu? Tapi udahlah yang penting 3 jin dalam tubuhmu musti dihilangkan.”
“Saya pasrah saja, apa yang terbaik menurut mas Ian.” katanya mengiba.
“Tapi aku ingin tau dulu, kenapa kok kamu bisa tau aku akan singgah di mushola sini?”
“Ceritanya begini mas, saat aku dikunci terus dalam kamar oleh orang tuaku, waktu antara sadar dan tidak, maksudku tidur dan terjaga, aku didatangi orang tua, yang mengaku kakek buyutku.” katanya bercerita, dia menarik nafas dalam. Biar ceritanya tambah lama.
“Kakek itu berpesan, tunggu pemuda di mushola Annur daerah Pacul, minta tolong untuk membantu masalahmu, apa yang dia katakan turuti saja. Begitu pesan kakek itu, yang mengaku sebagai kakek buyutku,” kata Ilham mengakhiri ceritanya,
“Lalu bagaimana kamu tau pemuda yang kau tunggu itu aku?” tanyaku.
“Kakek itu juga menyebutkan ciri mas lengkap, dan saya cerita sama mas Mashur juga, jadi ketika mas muncul di mushola, baru saya yakin mimpi saya bukan mimpi bohong.”
“Begitu rupanya,” kataku, padahal pakaianku uapek banget, juga bauku kulit yang terbakar matahari.
“Terus sekarang bagaimana mas..?” tanya Mashur yang dari tadi diam menyimak.
“Ya jinnya harus dikeluarkan,” kataku menjawab.
“Wah apa perlu kembang setaman, dan menyan mas? Kalau iya, biar saya yang ke pasar, apa aja syaratnya mas?” tanya Mashur.
anda tdk pernah membaca kisah isro mi’roj, dikisahkan bagaimana nabi mengimami para nabi di masjidil aqso, lalu nabi bertemu dengan para nabi di langit 1 sampai tuju, nah para nabi sebelum nabi itu kan sudah meninggal dan dikubur jasadnya, apa nabi yang dusta, atau yang diceritai kisahnya yg tak percaya yang murtad jika islam…. nabi pernah menjawab pertanyaan yang ditanyakan pada beliau, soal ruh, lalu diperintah menjawab, arruhu min amri robbi, ruh itu urusan Tuhanku, aku jika ditanya soal ruh juga akan ku jawab, ruh itu urusan Tuhanku, jika mau protes soal ruh, proteslah pada Allah…
Kami semua dalam kepanikan, karena Aisyah sudah seperti keluarga, aku sendiri yang tak paham 100% metode, cara, waktu, dan semuanya dari alam jin, yang tentu berbeda dengan alam manusia, padahal kalau bahas jin, harusnya logika kita membuat ukuran alam mereka, bukan lagi alam kita, sebagaimana kalau bahas malaikat, seharusnya logika kita harusnya dimasukkan ke alam mereka agar pembahasan itu tepat, sebagaimana juga orang mau goreng tempe, tau kan goreng tempe, orang mau goreng tempe itu harus logikanya masuk ke membuat adukan tepung dan ukuran air dan bagaimana menggoreng sehingga dihasilkan gorengan yang tepat, tak beda sebenarnya dengan hal yang lain apapun di dunia ini, jika mau melakukan sesuatu apapun akal kita harus masuk ke dalam bidang yang akan kita lakukan, jangan dicampur aduk, misal mau goreng tempe memakai resep cara nyangkul sawah, sudah pasti tak akan jadi, semoga paham dengan apa yang saya maksudkan.
Karena tak paham bagaimana dunia jin itu, ya setidaknya dari pengalaman demi pengalaman yang ku alami, sedikit banyak membuka cakrawala kepahaman baru saya dengan dunia jin, walau aku tau masih banyak lagi yang belum ku tau, dan masih banyak lagi yang ingin ku ketahui.
Murid ku ajak dzikir, dan aku berdoa, semoga Allah mengirim petir untuk menghancurkan kerangkeng yang mengurung Aisyah, dan tak sampai sepuluh menit Aisyah sudah masuk ke tubuh Yaya, dan hati kami berbareng merasa ploong, lega, tapi Aisyah dalam keadaan lemah, dan kesakitan.
“Aduh pak kyai…. sakiit, saya dikurung, ini tubuh saya ditancapi bambu sampai tembus…”
Aku segera bertindak, walau sedang memimpin dzikir, aku segera menarik bambu yang menancap di tubuh Aisyah, dan ku tanya Aisyah ternyata sudah tak sakit lagi, cuma tubuhnya masih lemah, tapi tetap saja dia ngoceh.
“Pak kyai… pak kyai… saya ditangkap Sengkuni.” celoteh Aisyah.
“Bagaimana menangkapnya nduk?” tanyaku sambil terus memutar tasbih.
“Saya pas pulang menemani ibu belanja di pasar, saya terbang pulang dahulu, lalu ada beberapa rombongan jin, yang membawa jaring, dan kurungan, menangkap saya, saya jadi tak berdaya, dan saya ditangkap.”
“Lalu saya dibawa ke Surabaya, ke rumah adiknya, dan saya dikurung dalam kerangkeng, saya disiksa, tubuh saya ditusuk-tusuk pakai bambu dari perut tembus ke punggung.., rasanya sakiit sekali pak kyai…”
“Kok Aisyah bisa lepas bagaimana ceritanya..”
“Nyai ratu…” oceh Aiyah kebiasaan kalau diajak ngomong kemana perhatiannya kemana.
“Apa nduk.”
“Nyai ratu pak kyai… itu ikut dzikir sama prajurit semua, nyai ratu mengomeli saya, saya dilarang terbang-terbang lagi, disuruh di dekat pak kyai saja, biar tak ada yang menangkap.”
“Ya nduk, sebaiknya ndak terbang lagi untuk sementara, biar suasananya aman dulu, biar suasananya kondusif dulu, baru nanti terbang lagi.”
“Apa kondusif pak kyai?”
“Kondusif? apa ya kondusif…? ya itu kata yang dipakai orang-orang pinter itu untuk mengucapkan kata aman dan damai mungkin.” jawabku sekenanya saja.
“Wah berarti pak kyai pinter hayo…”
“Kok pinter.”
“La itu memakai kata kondusif?”
“La Aisyah kan baru saja juga mengucapkan kata kondusif, berarti juga pinter kan..”
“Iya ya pak kyai, Aisyah juga baru mengucapkan, berarti Aisyah juga pinter.”
“Wes lah nduk…. bagaimana kok Aisyah bisa lepas dari kurungan?”
“Itu kok pak kyai, saya juga tak tau..”
“Kok tak tau?”
“Ya tau-tau ada bola cahaya dari langit, menyambar kerangkeng yang mengurung Aisyah, dan kerangkeng jadi hancur lebur jadi cair, juga jin yang menjaga semua terpental mati.”
“Ooo begitu ceritanya?”
“Ya pak kyai… dan saya terbang ke sini, karena pak kyai memanggil, padahal saya sudah bingung.”
“Bingung kenapa nduk?”
“Ya bingung lah pak kyai, kan Aisyah sedang dalam kerangkeng, dan pak kyai memanggil Aisyah, kan Aisyah tak bisa datang, nanti Aisyah jadi murid yang tak berbakti pada guru, jadi Aisyah sedih sekali, ee kok ada bola api yang menyambar kerangkeng Aisyah, sehingga Aisyah jadi bisa memenuhi panggilan kyai.”
“Ndak kok nduk, kyai tidak menyalahkan Aisyah, ini kyai lagi dzikir ini untuk menolong Aisyah dari kerangkeng Sengkuni.”
“Jadi yang menolong Aisyah itu kyai ya?”
“Tidak nduk, yang menolong Aisyah itu Allah taala, kyai hanya meminta pada Allah agar menolong Aisyah, dan Allah membebaskan Aisyah dengan mengirim cahaya malaikat itu.”
“Terimakasih ya Allah, Engkau telah menolong Aisyah.”
“Bagaimana lukamu nduk?”
“Sudah sembuh kyai, setelah kyai obati.”
“Itu juga pertolongan Allah nduk, kyai hanya berdoa supaya sakit Aisyah disembuhkan, musnah hilang.”
“Iya kyai.”
“Ingat Aisyah jangan terbang-terbang lagi.”
“Tapi Aisyah jadi tak bebas no kyai.”
“Ya kalau ditangkap lagi bagaimana, apa Aisyah mau?”
“Hiii ngeri, masak tubuh Aisyah ditusuk-tusuk, leher ditusuk sampai tembus, perut ditusuk sampai tembus.”
“Nah kan, apa Aisyah mau seperti itu lagi?”
“Ya gak mau lah kyai.”
Akhirnya malam itu kami lega dengan kejadian yang kami alami, dan bagiku ada pelajaran yang ku ambil manfaat.
_________________________________________________
Jam 8 pagi, karena dalam perut seperti ada yang mengganjal, jika dipakai bernafas, atau batuk terasa menusuk-nusuk, seperti sebuah bambu lancip, aku panggil Aisyah ingin ku tanya sebenarnya apa yang dalam perutku. Tapi ku panggil-panggil tak juga datang, ku tarik saja dengan daya penarik, ku masukkan ke tubuh Yaya. Malah yang masuk jin lain, dia menggereng-gereng.
“Siapa?” tanyaku.
“Hem.. grrrr..” jawab dia menggereng, biasa mungkin menggertak, jin selalu begitu, suka main gertak.
“Siapa?”
“He.. he.. he… kau mencari Aisyah muridmu?”
“Iya..”
“Muridmu sudah dibawa teman-temanku.”
“Kemana.”
“Terbang ke Surabaya,”
“Ke tempat Sengkuni?”
“Ya..”
“Apa maunya Sengkuni, kenapa selalu menggangguku, dan membawa Aisyah?”
“Hmmm… karena dia kau ajari mengobati.”
“Kan dia ku ajari menolong orang.”
“Tak boleh.”
“Kenapa tak boleh?”
“Ya tak boleh berbuat baik, tak boleh menolong orang, tak boleh mengobati.”
“Kenapa?”
“Nanti thoreqohmu terkenal, banyak pengikutnya.”
“Sekarang bawa Aisyah kembali,”
“Hahahahah… tak bisa, dia akan kami kurung, akan kami bunuh.”
“Suruh temanmu bawa kembali.”
“Tak bisa, hahaha…, bawa kembali sendiri kalau mampu.”
“Baik.” segera ku membaca doa minta sama Allah diberi pedangnya malaikat maut, padahal aku sendiri tak tau, apa malaikat maut punya pedang apa tidak, heheheh…, yang jelas aku membayangkan pedang di tanganku menembus langit, dan ku tebaskan pada jin yang membawa kabur Aisyah, dan….
“Ampuuun….” terdengar jin lain.
“Siapa?”
“Kami yang membawa Aisyah.”
“Sekarang dia di mana?”
“Sekarang dia di penjara di sangkar burung.”
Perlu diketahui, Aisyah itu berbentuk asli burung merpati berwarna putih.
“Ayo bebaskan.”
“Tak bisa…”
“Kenapa? Apa kamu tak takut denganku?”
“Ya kami semua takut.”
“Kenapa tak mau membebaskan?”
“Kami diancam.”
“Sama siapa?”
“Sama Sengkuni, kalau kami tak menangkap Aisyah dan membebaskannya, kami akan disiksa.”
“Takutan mana sama Sengkuni, apa denganku?”
“Takut denganmu.”
“Nah bebaskan, apa kamu ku penggal kepalamu?”
“Jangan, jangan, jangan kami dibunuh.”
“Nah sekarang bawa kesini.”
“Kami tak bisa membuka sangkar burungnya, karena dikunci dengan ilmu,”
“Ini pegang pedangku, dan tebas sangkar burungnya.” ku berikan pedangku padanya.
“Aduuh berat sekali.”
“Sudah tebas, sini ku bantu tenaga,”
Lalu dia melakukan gerakan menebas.
“Pak kyai… saya bebas..” suara Aisyah.
“Ampuun… kami ingin menjadi murid kyai.” terdengar suara jin yang tadi.
“Iya… kalian sudah Islam..?” tanyaku.
“Belum..”
“Ayo tirukan aku membaca dua kalimat sahadat.”
“Iya.”
Lalu dia ku ajari membaca dua kalimat sahadat, dan setelah itu ku suruh mandi sebagai tanda masuk Islam.
__________________________________________________
“Pak kyai… ada jin lagi yang membawa kerangkeng ingin menangkapku.”
“Wah bener-bener keterlaluan, ada di mana nduk?”
“Itu pak kyai ada di bawah pohon mangga.”
Segera ku bentuk bola api di tangan dan ku hantamkan ke arah jin.
“Wah meledak pak kyai.”
“Apanya yang meledak nduk?”
“Ya kerangkengnya pak kyai, tapi jinnya kabur..”
“Wah gak ketangkap.”
Saat itu aku belum paham, kalau jin kabur, aku tak bisa menangkapnya, seiring perkembangan waktu, dan sampai sekarang, setelah berjalannya waktu, ternyata jin langit, atau jin di mana saja bisa ku tarik dengan tanganku, subhanallah, maha besar ilmu dari Allah, benar memang semakin kita banyak tau, maka akan makin banyak yang belum kita tau, dan haus akan ilmu, makin tak terbendung, ingin terus nambah saja ilmu.
Apalagi akhir-akhir ini, makin banyak kejadian ku alami, beruntun dan serasa berat menanggungnya, makin aku sadar kalau itu semua adalah cara Allah menggemblengku untuk menjadi orang yang sanggup memegang amanah yang dibebankan ke pundakku, setelah tau itu, segala ujian itu malah serasa ringan, dan malah ketagihan ingin di-uji dan di-uji, jika mengingat anugerah yang diberikan padaku, maka segala ujian itu tak memberatkan sama sekali, pantesan guruku begitu senangnya menerima ujian, dan tak mau menolaknya sama sekali.
Yang ku rasakan manfaat dari ujian yang bertubi-tubi yang ku terima itu adalah, para guru besar, seperti syaikh Abdul Qodir Jailani RA, syaikh Nawawi, syaikh Abdul Karim Tanahara, dan ahli silsilah TQNS semua hadir ketika ada pengajian thoreqoh di rumahku, dan malaikat yang hadir berlapis-lapis, sampai tembus langit, berbaris, malah sering ketangkap kamera yang memotret, dan yang hadir dari dunia jin juga sampai memenuhi semua tempat, yang aneh malah yang dari manusia jarang ada yang ikut. Tetangga saja jarang ada yang ikut, ya biarkan saja.
Sebenarnya aku sendiri juga tak tau kalau mereka ikut, tauku diberi tau Aisyah, biasanya Aisyah akan memberitahu siapa saja yang hadir di pengajian,
“Kyai… wah Aisyah tak berani ikut di dalam majlis kyai.”
“Kenapa nduk?”
“Aisyah silau.”
“Silau kenapa nduk?”
“Di samping kanan kiri kyai, dari syaikh Abdul Qodir, syaikh Abdul Karim, syaikh Tolkhah, syaikh Nawawi, syaikh saya tak tau lagi kyai, banyak sekali semua hadir, dan yang sering hadir syaikh Magrobi dengan anaknya.”
“Siapa syaikh Maghrobi?”
“Itu kyai yang tinggal di Gresik.”
“Apa mereka dari bangsa jin?”
“Bukan kyai, mereka dari ruh, wah silau sekali kyai, belum lagi para malaikat yang hadir, sampai tembus langit tuju berbaris.”
“Apa bener nduk?”
“Ya benar lah kyai, masak Aisyah bohong, nanti masuk neraka, juga kuwalat kalau bohong sama guru, Aisyah siap diperintah kyai, Aisyah siap mati untuk kyai…”
Aku jadi terharu, mendengar ucapan Aisyah.
“Kyai…”
“Ada apa nduk?”
“Anu anaknya syaikh Magrobi, cuaaantiik sekali.”
“Cantik mana sama Aisyah?”
“Wah cantik dia kyai, pakaiannya hijau, kerudungnya hijau, wajahnya putih seperti susu, dan hidungnya mansuung.”
“Coba tanya dia, apa mau jadi istri kyai?”
Aisyah terdiam.
“Ah kyai… la bu nyai mau dikemanakan?”
“Ya kan boleh saja punya istri 2, 3, 4.”
“Iya deh Aisyah tanyakan.”
Sebentar dia diam….
“Kyai… dia katanya masih mau sama abinya… katanya kalau mau melamarnya, diminta minta sama abinya.”
“Iya deh nanti kyai minta sama abinya..”
“Dia malu kyai..”
“Ya biar… dia sendiri yang nyuruh kyai minta sama abinya.”
“Ee dia kabur, malu… heheheh… lucu.. manusia… heheheh…”
___________________________________________________
Pagi-pagi… habis hujan gerimis, serasa malas sekali mau tidur, padahal semalaman belum tidur , Aisyah memanggil.
“Kyai…”
“Ada apa nduk…” kataku.
“Ada yang mencari kyai…”
“Di mana?”
“Di sumur sana..”
“Mau apa, coba tanya nduk siapa dia, mau apa?”
“Dia bernama syaih Tolkhah dari Kalisapu Cirebon.”
“Syaikh Tolkhah, gurunya Syaikh Mubarok bin Nur Muhammad?”
“Iya kyai…”
“Mau apa dia di situ.”
“Dia bilang ingin memberi ilmu pada kyai..”
“Ooo… ya kyai siap.”
“Kyai…” panggil Aisyah, biasa dia kalau omong sambil matanya kesana kesini.
“Ada apa nduk.”
“Tadi syaikh Tolkhah mengisi sumur.”
“Mengisi dengan apa nduk.”
“Diisi karomah kyai, air sumurnya jadi bergolak.”
“Oo ya ndak papa… ini kyai sudah siap.”
“Iya syaikh Tolkhah sudah ada di belakang kyai.”
Ku rasakan tangan dingin, menempel di punggungku, dan aliran energi masuk ke tubuhku, tubuhku serasa panas. Dan pengisian selesai.
“Kyai , syaikh Tolkhah berpesan supaya ilmu yang diberikan dipakai berjuang di jalan Allah. Semua guru akan mendukung kyai di belakang.”
“Iya katakan pada syaikh Tolkhah, kalau kyai insaAllah siap lahir batin memperjuangkan dan insaAllah menjalankan amanah yang diberikan sekuatnya.”
“Iya kyai,,, syaikh Tolkhah akan kembali, kyai diminta mencium tangannya.”
Aku segera melakukan seperti mencium tangan, ya memang repot memang kalau mata batinku tertutup, karena tertutup oleh Saehuni.
__________________________________________________
Aku lagi makan siang.
“Kyai…. ada syaikh Abdul Qodir Jailani.”
“Mana?”
“Itu di belakang kyai… wah saya tak berani menatap kyai..”
“Kenapa?”
“Silau sekali.”
“Salam ta’dzim kyai, sampaikan pada syaikh Abdul Qodir RA,”
“Ya kyai, beliau menjawab salam dan tersenyum ke kyai.”
“Kyai dia memberi ilmu ke Aisyah dan ke kyai..”
“Ilmu apa nduk?”
“Ilmu untuk menarik jin dari jarak jauh, kalau jinnya fasik, kata beliau, suruh diremas saja, jadi bubuk, nanti jinnya akan mati.”
“Iya nduk kyai siap menjalankan.”
“Kyai, syaikh Abdul Qodir mau membuka mata batin kyai…”
“Iya kyai siap, dan sami’na wa ato’na.”
Serasa di dadaku ada yang bergerak, serasa dingin, beberapa menit berlalu.
“Kyai, syaikh Abdul Qodir mau pergi, kyai diminta mencium tangannya..”
“Kok aku belum terlihat jelas alam gaib?”
“Kata syaikh Abdul Qodir, nanti bisa dipakainya, 4 hari kemudian.”
“Oo yaa.. ya… katakan, kyai mengucapkan terimakasih.”
Aku segera melakukan seperti mencium tangan beliau yang mulia.
Hening…. aku dan Aisyah diam lalu Aisyah nyeletuk kembali.
“Kyai, ada yang datang… ah Aisyah pergi saja..”
“Kenapa kok pergi…?”
“Silau pak kyai…”
“Sudah di sini saja, siapa yang datang?”
“Bertiga kyai.”
“Siapa?”
“Ada Raden Rohmad Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri, sekarang mereka ada di depan kyai semua.”
Aku segera menyalami mereka bertiga.
“Ada apa nduk, tanya keperluan mereka.”
“Mereka mau memberi ilmu pada kyai, mereka mengatakan kyai untuk siap menerima ilmu.”
Aku segera siap, dan serasa aliran anergi bergulung-gulung memasuki tubuhku, dan beberpa menit kemudian, aliran energi menggumpal dalam tubuhku, berputar-putar.
“Kyai, kata Kanjeng Sunan Ampel, para Wali Songo, nitip salam pada kyai, agar kyai meneruskan perjuangan menegakkan kebenaran, dan bersikap tegas, dan yakin akan pertolongan Allah.”
“InsaAllah kyai siap.”
“Sudah mereka mau pamit.”
Aku dan Aisyah terdiam mengantar kepergian ketiga Wali Songo, tapi kemudian Aisyah ngomong lagi, tapi sambil menjauh dariku, sehingga aku tak jelas dengan pembicaraannya.
“Kenapa nduk?”
“Aisyah takut kyai..”
“Takut kenapa? Apa ada jin jahat?”
“Bukan kyai.. tapi yang hadir sekarang, silauuuu sekali, dan Aisyah takut sekali.”
“Yang datang bagaimana dia nduk?”
“Dia tinggi sekali, sampai kepalanya sampai atas..”
“Dari golongan jin?”
“Bukan kyai…”
“Lalu?”
“Dia nabi…”
“Nabi, nabi siapa?”
“Pakaiannya hijau tua, juga memakai surban besar hijau tua, dia mengatakan beliau nabi Khaidir.., beliau uluk salam kepada kyai.”
“Waalaikum salam. Tanyakan apa keperluan beliau?”
“Beliau ingin memberi ilmu ke kyai, tapi kata beliau, ini sekuatnya kyai saja menerima… nanti ditambah lagi, dan beliau menyuruh agar kyai siap.”
Aku segera siap, dan aliran panas dingin berpadu memenuhi punggungku, mengalir deras seperti banjir dalam seluruh tubuhku, dan pengisian selesai.
“Kyai, beliau berpesan agar ilmu yang diberikan dipakai seefektif mungkin, gunakan berjuang untuk menegakkan kebenaran dan menumpas kebatilan.”
“Insa Allah.”
“Beliau berpesan, dzikirnya kyai lebih diperbanyak lagi, agar ruhani kyai kuat menerima ilmu dari para wali dan nabi yang ingin menitipkan amalnya pada kyai.”
“InsaAllah…”
“Beliau mau pamit…, dan Aisyah diperintah untuk mendampingi kyai.”
“Ya…”
Aku segera melakukan salam takdzim kepada nabi Khaidir AS.
____________________________________________________
Nyai Ratu, kakaknya Aisyah, sudah selesai puasa, dan ingin ku perintahkan untuk mendatangi Nyai Roro Kidul, penguasa laut selatan. Maksudku kalau mau, mau ku ajak masuk Islam, sebagaimana aku mengislamkan Dewi Lanjar.
Nyai Ratu sudah siap berangkat, tinggal menunggu perintah dariku.
Aku sedang berbicara dengan Aisyah, lalu cuci tangan ke dapur, kok aku merasa ada jin fasik yang datang, apa mungkin Nyai Roro Kidul, jin fasik dan jin yang baik itu beda, walau mata batinku tertutup, tapi ketajaman indra perasaku tak terpengaruh, jadi siapa yang datang, jin benar atau bukan tetap ku rasakan kehadirannya.
Jika itu jin fasik, maka akan serasa menebal amat tebal, bagian arah tubuh yang menghadap ke jin, tapi jika jinnya baik, muslim yang taat, maka hanya ada rasa tau kalau ada yang datang, tapi tak tau dan tak melihat siapa yang datang.
Kali ini yang ku rasakan, rasa tebal di kepala sangat tebal, perkiraanku adalah jin fasik, apa mungkin Nyai Roro Kidul.
Sementara Aisyah sudah memangil-manggil, kyai ada yang datang, dari laut selatan. Dan sudah masuk ke tubuh Aisyah.
“Siapa? Apa Nyai Roro Kidul?” tanyaku lumayan tegang.
Dia melihatkan matanya kesana kesini… meneliti seluruh rumahku.
“Ini rumah siapa?” suaranya seperti anak kecil.
“Ini rumahku..” jawabku.
“Kamu siapa?”
“Aku orang biasa, kamu sendiri siapa?”
“Aku anaknya Nyai Roro Kidul.”
“Kok datang ke sini?”
“Ya karena ada yang membicarakan ibuku, maka aku ingin tau siapa, ternyata ada di sini, dan aku terbawa sampai kesini.”
“Ibumu yang jadi ratu lautan selatan kan?” tanyaku.
“Iya… kenapa?”
“Agamanya apa?”
“Hindu… kenapa?”
“Apa dia mau masuk Islam?”
“Tak akan mau,”
“Kenapa?”
“Karena kami benci dengan orang Islam.”
“Benci bagaimana?”
“Orang Islam sering membuat kerusakan.”
“Kerusakan bagaimana?”
“Ya mereka sering merusak laut, sering meminta kekayaan.”
“Jangan menuduh apa yang dilakukan segelintir orang, lantas menuduh yang lain sama saja,”
“Ah kenyataannya begitu.”
“Ada pencuri yang dari kampung A, apa semua kampung A adalah pencuri?”
“Aku tak perduli, ibu selalu mengatakan padaku kalau orang Islam itu jahat.”
“Bisa kamu panggil ibumu kesini?”
“Bisa..”
Sebentar dengan hitungan seper sekian detik, Nyai Roro Kidul sudah datang dan masuk ke tubuh mediator.
“Ada apa kau memanggilku?”
“Aku ingin nyai mau masuk Islam,”
“Tak mau, aku tau kau siapa… hm… ya aku tau sekali kamu siapa… kamu murid kyai Cilik.”
“Setelah tau diriku, apa masih tak mau masuk Islam?”
“Hehehe… aku tak mau..”
“Apa mau coba adu kesaktian denganku.”
“Ya… kau akan ku hancurkan.” katanya dengan mendengus marah, dan mulai melakukan jurus menyerang.
Berbagai macam penggambaran Nyai Roro Kidul, momok yang sering ku baca di cerita-cerita sungguh amat menakutkan, juga banyak dibahas di tivi dan media lain, selalu berbau mistik dan serba menakutkan, itu membuatku ingin tau lebih banyak.
“Tunggu dulu, kenapa buru-buru menyerang?”
“Heee… eeh, apa lagi?”
“Apa sampean ini yang benar-benar menguasai samudera yang terkenal itu?” tanyaku berusaha tenang. Kayak orang lagi duduk jagong, menghabiskan cemilan jagung goreng.
“Hiya….” jawabnya sambil tangannya masih bersiap menyerang, dan yang kiri menekuk di dada. Gak tau jurus apa yang dipakai, tapi ku rasa hebat juga dia, biasanya jin jika bertatap muka denganku, saling menatap mata pasti tak kuat, tak tau juga apa yang di mataku, kata Aisyah sih mataku kalau memandang seringnya mengeluarkan percikan api, aku juga gak tau, kali saja Aisyah yang ngarang.
“Apa sampean bener-bener tak mau ku Islamkan?”
“Tak mau, saya sudah bersumpah untuk tak masuk Islam.”
“Sumpah sama siapa?”
“Dengan yang memberi ilmu padaku, ah tak usah banyak tanya…”
“Lo kan biar kita saling tau..”
“Pokoknya aku tak mau diIslamkan, orang Islam semua jahat, jelek perangainya.”
“Jelek bagaimana?”
“Mereka sering meminta padaku yang tidak-tidak, dan sikapnya hanya merusak samudra saja.”
“Lhoh kok begitu..?”
“Ya.”
“Berarti kata gampangnya nyai tak mau ku Islamkan?”
“Ya..”
“Jadi kita adu kekuatan.”
“Ya….”
Kami pun adu kekuatan, dan berkali-kali kami saling serang, kadang aku keluarkan cambuk api, ku serang bertubi-tubi, awal serangan dia tergetar, tapi ke dua ke tiga dia sudah mempan, ku ganti dengan pedang, juga pertama kali dia mampu ku lukai, tapi kedua kali dan ketiga dia kebal, berulang kali benturan energi, aku makin semangat, rasanya langka bisa bertarung dengan Ratu Kidul, sekalian nyoba ilmuku, yang sebenarnya aku juga gak tau, aku ini punya ilmu atau bukan, yang jelas keringetan juga, bertarung dengan berbagai ilmu ku ganti untuk menggempurnya, dan berulang kali dia jatuh terhantam pukulanku, jadinya kayak latihan saja, soale Nyai Roro Kidul tak pernah sampai jika menyerangku, selalu saja dapat ku gempur duluan, sampai dia ngos-ngosan, mungkin dipikirnya, kok ilmuku gak habis-habis, banyak banget koleksi ilmuku, padahal itu hanya hayalku saja, ilmu yang ku ciptakan di hayalku.
Dia terdiam, ngos-ngosan tak berdaya, lalu berusaha memperbaiki duduknya, dan menyembah padaku.
“Aku menyerah, dan takluk, dan siap mengabdi padamu.” katanya berubah lembut, tak seperti pertama kali datang.
“Aku ini tak butuh pengabdian, aku hanya ingin nyai masuk Islam, jadi mengabdi padaku mau, tapi kalau masuk Islam tak mau?”
“Ya, aku tak bisa masuk Islam.”
“Kalau tak mau masuk Islam, ya sudah kita bertarung lagi.”
“Tidak, aku menyerah kalah… kamu sakti sekali.”
“Hehehe… aku tak sakti, aku biasa saja…”
“Tidak, selama ini tak ada yang bisa mengalahkanku, hanya kamu yang bisa mengalahkanku.”
“Itu kebetulan saja, bagaimana ini, tak mau masuk Islam?”
“Tidak, sekali tidak ya tidak.., aku tak mau masuk Islam.”
“Kalau begitu kamu mati saja… dan ku masukkan ke neraka, apa kamu tak takut.”
“He.. he… he.. silahkan kalau bisa membunuhku dan memasukkanku ke neraka.”
“Baik kamu yang minta.”
Segera saja ku berdoa, dan ku minta pada Allah diberi kekutannya malaikat maut ke tanganku, di tanganku serasa mulai memberat, tanda kekuatan malaikat maut sudah terkumpul di tangan, rasanya udara juga serasa pekat, dan padat, sepertinya tanganku mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan, segera saja ku arahkan energi menyerang ke kepalanya, ku tangkap ruhnya, dan ku cabut, ya hanya hayal saja, jangan dikira ini serius, tapi efeknya nyata, ruh Nyai Roro Kidul lepas, dan serasa ada di tanganku, rasanya dingin, menggeliat, dan segera saja ku lempar ke neraka jahanam.
Suasana sunyi, mediator sadar, tapi segera kemasukan lagi.
“Siapa?”
“Aku suami Nyai Roro Kidul, dia telah kamu masukkan ke neraka,”
“Iya…”
“Kamu harus mengadu nyawa denganku.”
Dia langsung menyerangku, tanpa pikir panjang karena kekuatan malaikat maut masih terpegang di tanganku, maka segera saja ku tarik nyawanya dan ku lempar ke neraka.
Kembali suasana tenang, tapi kembali, datang jin lain yang masuk.
“Siapa?”
“Aku orang tuanya Nyai Roro Kidul.”
“Lalu mau apa?”
“Kau telah melemparkan nyai Roro Kidul ke neraka. Aku mau menuntut balas.”
“Silahkan…” kataku, dan siap-siap mencabut nyawanya, kalau dia menyerang, dan memang dia menyerang, aku tak mau banyak bahasan, juga bertarung dengan sia-sia, maka ku cabut nyawanya dan ku lempar ke neraka. Mediator kemasukan lagi,
“Kamu nakal, kenapa ayah ibuku, dimasukkan ke neraka?”
“Ooo kamu anaknya yang tadi?”
“Huuu… huuu,,, ya aku anaknya tadi…. huuu… aku sekarang sendirian, aku dengan siapa? Ayah ibu, kamu masukkan ke neraka, aku ikut.”
“Hah, kamu mau ikut? Mereka di sana disiksa..”
“Disiksa bagaimana?”
“Kamu ingin melihat?”
“Iya..”
Lalu ku buka penglihatannya…
“Ibu…. ayah… kasihan mereka dibakar, dicambuki, sampai hancur..”
“Bagaimana? Apa masih mau ikut?”
“Tidak…, tapi aku sendirian, aku tak punya ayah ibu.”
“Ya ayah ibumu akan dikeluarkan dari neraka, kalau mereka bertaubat, dan mau masuk agama Islam.”
“Kau jahat, orang Islam jahat.”
“Aku melakukan ini, agar ayah ibumu nanti bahagia, masuk surga, bagaimana kamu mengatakan aku jahat?”
“Pokoknya kamu jahat.”
“Bagaimana, kamu mau masuk Islam.”
“Tak mau, karena ayah ibuku mengatakan kalau orang Islam jahat.”
“He dengar, kamu masuk Islam, nanti berdoa pada Allah, agar ibumu, diberi hidayah sama Allah, agar mau masuk Islam, nanti beliau diambil dari neraka.”
“Apa bisa?”
“Ya bisa..”
“Kalau begitu saya mau masuk Islam.”
“Bener..”
Ku minta pada malaikat maut, melihat hatinya, jika hatinya mau masuk Islam, ku minta untuk tak dicabut nyawanya, tapi kalau tidak mau masuk Islam, ku pinta mencabut nyawanya.
Dan malaikat maut pun mencabut nyawanya, tanda kalau dia hanya pura-pura masuk Islam.
Setelah nyawa anak Nyai Roro Kidul dicabut dan dibawa ke neraka, maka silih berganti berdatangan prajurit Nyai Roro Kidul menyerangku. Aku sudah lelah, segala urusan ku serahkan pada malaikat maut yang melakukan perlawanan, sementara syaikh Abdul Karim di sebelah kananku dan kyai guruku di sebelah kiriku, dalam wujud sukma.
Alhamdulillah semua lancar, walau anak buah Nyai Roro Kidul, masih banyak yang mau menyerang, dari pada aku digempur duluan, maka ku kirim malaikat untuk menggempur kerajaan samudra.
Setelah sepersekian menit berlalu, aku berpikir, wah bisa jadi kerajaan sana tak ada pemimpinnya, bagaimana ini.
“Aisyah…”
“Ya kyai.., Aisyah takut, karena pak kyai menyeramkan, galak sekali.”
“Aisyah tau tidak dengan nyai Ratu Pantai Selatan.”
“Tau pak kyai, kenapa pak kyai…”
“Dia Islam kan?”
“Iya dia Islam pak kyai.”
“Ku panggilnya ya..”
“Ya kyai… terserah bagaimana kyai saja lah..”
Maka ku panggil nyai Ratu Pantai Selatan, dan tak sampai 1 menit dia sudah datang.
Lagak lagunya sangat halus, dia menghormat padaku dengan menaruh tangan di dada, dan wajah menunduk, serta mengucap salam.
“Ada perlu apa, pak kyai memanggil saya?”
“Kenal siapa saya.”
“Ya saya tau, siapa pak kyai.”
“Sampean sudah Islam kan?”
“Alhamdulillah sudah pak kyai, kenapa?”
“Dulu yang mengislamkanmu siapa?”
“Itu pak kyai, yang mengislamkanku, wali songo.”
“Sunan Kali Jaga?”
“Iya pak kyai.”
“Ini begini nyai ratu…., sekarang samudra selatan, kan tak ada yang menjadi ratu… nah nyai ini saya serahi menjadi raja di sana mau tidak?”
“Saya siap menjalankan.”
“Apa tak ingin jadi muridku?”
“Mau kyai, kalau kyai sudi mengangkat hamba menjadi murid, hamba akan sangat senang.”
“Baiklah, kalau begitu, ini ku beri cambuk untuk menjaga, menjadi ratu di laut,” dia ku suruh menerima cambuk yang ku berikan.
“Kyai saya mau mohon diri dulu, sekali lagi terima kasih telah mengangkatku menjadi murid kyai.”
“Nanti belajar cara dzikirnya, nanti minta ajar pada mbakyunya Aisyah.”
“Iya kyai, saya mohon diri dulu.” nyai ratu pun keluar.
Esoknya aku dikeroyok, dukunnya Sengkuni, dan anak buahnya Nyai Roro Kidul, pasukannya ada 1 juta jin. Bersama ruh manusia yang menyembah Nyai Roro Kidul. Aku jadi harus menghadapi 3 kelompok, yang ketiganya ingin menggencetku dengan serangan, serasa merinding, tapi aku harus tabah dan kuat, Alhamdulillah, guru silsilah dari mulai syaikh Abdul Qodir, sampai pada guruku, semua dalam keadaan siaga. Semua mendampingiku, 1 juta jin anak buahnya Nyai Roro Kidul sekaligus datang, masuk semua ke mediator.
Mereka menatapku semua, dengan tatapan mata benci dan dendam.
“Dari pasukannya Nyai Roro Kidul?” tanyaku simpel.
“Iya… kami akan menyerang semuanya.”
“Apa masih ada yang belum datang?”
“Ada.. para arwah dukun yang menyembah nyai, sekarang masih di atas.”
“Suruh sekalian masuk, sekalian mengeroyokku.” kataku.
Maka masuk ada sekitar 600 ruh para dukun yang menyembah Nyai Roro Kidul.
Suasana menjadi tegang, dan udara juga di sekitarku juga mulai memadat, aku sengaja ajak mediator mojok, agar serangan tak mengenai orang lain.