Kami semua dalam kepanikan, karena Aisyah
sudah seperti keluarga, aku sendiri yang tak paham 100% metode, cara,
waktu, dan semuanya dari alam jin, yang tentu berbeda dengan alam
manusia, padahal kalau bahas jin, harusnya logika kita membuat ukuran
alam mereka, bukan lagi alam kita, sebagaimana kalau bahas malaikat,
seharusnya logika kita harusnya dimasukkan ke alam mereka agar
pembahasan itu tepat, sebagaimana juga orang mau goreng tempe, tau kan
goreng tempe, orang mau goreng tempe itu harus logikanya masuk ke
membuat adukan tepung dan ukuran air dan bagaimana menggoreng sehingga
dihasilkan gorengan yang tepat, tak beda sebenarnya dengan hal yang lain
apapun di dunia ini, jika mau melakukan sesuatu apapun akal kita harus
masuk ke dalam bidang yang akan kita lakukan, jangan dicampur aduk,
misal mau goreng tempe memakai resep cara nyangkul sawah, sudah pasti
tak akan jadi, semoga paham dengan apa yang saya maksudkan.
Karena tak paham bagaimana dunia jin itu,
ya setidaknya dari pengalaman demi pengalaman yang ku alami, sedikit
banyak membuka cakrawala kepahaman baru saya dengan dunia jin, walau aku
tau masih banyak lagi yang belum ku tau, dan masih banyak lagi yang
ingin ku ketahui.
Murid ku ajak dzikir, dan aku berdoa,
semoga Allah mengirim petir untuk menghancurkan kerangkeng yang
mengurung Aisyah, dan tak sampai sepuluh menit Aisyah sudah masuk ke
tubuh Yaya, dan hati kami berbareng merasa ploong, lega, tapi Aisyah
dalam keadaan lemah, dan kesakitan.
“Aduh pak kyai…. sakiit, saya dikurung, ini tubuh saya ditancapi bambu sampai tembus…”
Aku segera bertindak, walau sedang
memimpin dzikir, aku segera menarik bambu yang menancap di tubuh Aisyah,
dan ku tanya Aisyah ternyata sudah tak sakit lagi, cuma tubuhnya masih
lemah, tapi tetap saja dia ngoceh.
“Pak kyai… pak kyai… saya ditangkap Sengkuni.” celoteh Aisyah.
“Bagaimana menangkapnya nduk?” tanyaku sambil terus memutar tasbih.
“Saya pas pulang menemani ibu belanja di
pasar, saya terbang pulang dahulu, lalu ada beberapa rombongan jin, yang
membawa jaring, dan kurungan, menangkap saya, saya jadi tak berdaya,
dan saya ditangkap.”
“Lalu saya dibawa ke Surabaya, ke rumah
adiknya, dan saya dikurung dalam kerangkeng, saya disiksa, tubuh saya
ditusuk-tusuk pakai bambu dari perut tembus ke punggung.., rasanya
sakiit sekali pak kyai…”
“Kok Aisyah bisa lepas bagaimana ceritanya..”
“Nyai ratu…” oceh Aiyah kebiasaan kalau diajak ngomong kemana perhatiannya kemana.
“Apa nduk.”
“Nyai ratu pak kyai… itu ikut dzikir sama
prajurit semua, nyai ratu mengomeli saya, saya dilarang terbang-terbang
lagi, disuruh di dekat pak kyai saja, biar tak ada yang menangkap.”
“Ya nduk, sebaiknya ndak terbang lagi
untuk sementara, biar suasananya aman dulu, biar suasananya kondusif
dulu, baru nanti terbang lagi.”
“Apa kondusif pak kyai?”
“Kondusif? apa ya kondusif…? ya itu kata
yang dipakai orang-orang pinter itu untuk mengucapkan kata aman dan
damai mungkin.” jawabku sekenanya saja.
“Wah berarti pak kyai pinter hayo…”
“Kok pinter.”
“La itu memakai kata kondusif?”
“La Aisyah kan baru saja juga mengucapkan kata kondusif, berarti juga pinter kan..”
“Iya ya pak kyai, Aisyah juga baru mengucapkan, berarti Aisyah juga pinter.”
“Wes lah nduk…. bagaimana kok Aisyah bisa lepas dari kurungan?”
“Itu kok pak kyai, saya juga tak tau..”
“Kok tak tau?”
“Ya tau-tau ada bola cahaya dari langit,
menyambar kerangkeng yang mengurung Aisyah, dan kerangkeng jadi hancur
lebur jadi cair, juga jin yang menjaga semua terpental mati.”
“Ooo begitu ceritanya?”
“Ya pak kyai… dan saya terbang ke sini, karena pak kyai memanggil, padahal saya sudah bingung.”
“Bingung kenapa nduk?”
“Ya bingung lah pak kyai, kan Aisyah
sedang dalam kerangkeng, dan pak kyai memanggil Aisyah, kan Aisyah tak
bisa datang, nanti Aisyah jadi murid yang tak berbakti pada guru, jadi
Aisyah sedih sekali, ee kok ada bola api yang menyambar kerangkeng
Aisyah, sehingga Aisyah jadi bisa memenuhi panggilan kyai.”
“Ndak kok nduk, kyai tidak menyalahkan Aisyah, ini kyai lagi dzikir ini untuk menolong Aisyah dari kerangkeng Sengkuni.”
“Jadi yang menolong Aisyah itu kyai ya?”
“Tidak nduk, yang menolong Aisyah itu
Allah taala, kyai hanya meminta pada Allah agar menolong Aisyah, dan
Allah membebaskan Aisyah dengan mengirim cahaya malaikat itu.”
“Terimakasih ya Allah, Engkau telah menolong Aisyah.”
“Bagaimana lukamu nduk?”
“Sudah sembuh kyai, setelah kyai obati.”
“Itu juga pertolongan Allah nduk, kyai hanya berdoa supaya sakit Aisyah disembuhkan, musnah hilang.”
“Iya kyai.”
“Ingat Aisyah jangan terbang-terbang lagi.”
“Tapi Aisyah jadi tak bebas no kyai.”
“Ya kalau ditangkap lagi bagaimana, apa Aisyah mau?”
“Hiii ngeri, masak tubuh Aisyah ditusuk-tusuk, leher ditusuk sampai tembus, perut ditusuk sampai tembus.”
“Nah kan, apa Aisyah mau seperti itu lagi?”
“Ya gak mau lah kyai.”
Akhirnya malam itu kami lega dengan kejadian yang kami alami, dan bagiku ada pelajaran yang ku ambil manfaat.
_________________________________________________
Jam 8 pagi, karena dalam perut seperti
ada yang mengganjal, jika dipakai bernafas, atau batuk terasa
menusuk-nusuk, seperti sebuah bambu lancip, aku panggil Aisyah ingin ku
tanya sebenarnya apa yang dalam perutku. Tapi ku panggil-panggil tak
juga datang, ku tarik saja dengan daya penarik, ku masukkan ke tubuh
Yaya. Malah yang masuk jin lain, dia menggereng-gereng.
“Siapa?” tanyaku.
“Hem.. grrrr..” jawab dia menggereng, biasa mungkin menggertak, jin selalu begitu, suka main gertak.
“Siapa?”
“He.. he.. he… kau mencari Aisyah muridmu?”
“Iya..”
“Muridmu sudah dibawa teman-temanku.”
“Kemana.”
“Terbang ke Surabaya,”
“Ke tempat Sengkuni?”
“Ya..”
“Apa maunya Sengkuni, kenapa selalu menggangguku, dan membawa Aisyah?”
“Hmmm… karena dia kau ajari mengobati.”
“Kan dia ku ajari menolong orang.”
“Tak boleh.”
“Kenapa tak boleh?”
“Ya tak boleh berbuat baik, tak boleh menolong orang, tak boleh mengobati.”
“Kenapa?”
“Nanti thoreqohmu terkenal, banyak pengikutnya.”
“Sekarang bawa Aisyah kembali,”
“Hahahahah… tak bisa, dia akan kami kurung, akan kami bunuh.”
“Suruh temanmu bawa kembali.”
“Tak bisa, hahaha…, bawa kembali sendiri kalau mampu.”
“Baik.” segera ku membaca doa minta sama
Allah diberi pedangnya malaikat maut, padahal aku sendiri tak tau, apa
malaikat maut punya pedang apa tidak, heheheh…, yang jelas aku
membayangkan pedang di tanganku menembus langit, dan ku tebaskan pada
jin yang membawa kabur Aisyah, dan….
“Ampuuun….” terdengar jin lain.
“Siapa?”
“Kami yang membawa Aisyah.”
“Sekarang dia di mana?”
“Sekarang dia di penjara di sangkar burung.”
Perlu diketahui, Aisyah itu berbentuk asli burung merpati berwarna putih.
“Ayo bebaskan.”
“Tak bisa…”
“Kenapa? Apa kamu tak takut denganku?”
“Ya kami semua takut.”
“Kenapa tak mau membebaskan?”
“Kami diancam.”
“Sama siapa?”
“Sama Sengkuni, kalau kami tak menangkap Aisyah dan membebaskannya, kami akan disiksa.”
“Takutan mana sama Sengkuni, apa denganku?”
“Takut denganmu.”
“Nah bebaskan, apa kamu ku penggal kepalamu?”
“Jangan, jangan, jangan kami dibunuh.”
“Nah sekarang bawa kesini.”
“Kami tak bisa membuka sangkar burungnya, karena dikunci dengan ilmu,”
“Ini pegang pedangku, dan tebas sangkar burungnya.” ku berikan pedangku padanya.
“Aduuh berat sekali.”
“Sudah tebas, sini ku bantu tenaga,”
Lalu dia melakukan gerakan menebas.
“Pak kyai… saya bebas..” suara Aisyah.
“Ampuun… kami ingin menjadi murid kyai.” terdengar suara jin yang tadi.
“Iya… kalian sudah Islam..?” tanyaku.
“Belum..”
“Ayo tirukan aku membaca dua kalimat sahadat.”
“Iya.”
Lalu dia ku ajari membaca dua kalimat sahadat, dan setelah itu ku suruh mandi sebagai tanda masuk Islam.
__________________________________________________
“Pak kyai… ada jin lagi yang membawa kerangkeng ingin menangkapku.”
“Wah bener-bener keterlaluan, ada di mana nduk?”
“Itu pak kyai ada di bawah pohon mangga.”
Segera ku bentuk bola api di tangan dan ku hantamkan ke arah jin.
“Wah meledak pak kyai.”
“Apanya yang meledak nduk?”
“Ya kerangkengnya pak kyai, tapi jinnya kabur..”
“Wah gak ketangkap.”
Saat itu aku belum paham, kalau jin
kabur, aku tak bisa menangkapnya, seiring perkembangan waktu, dan sampai
sekarang, setelah berjalannya waktu, ternyata jin langit, atau jin di
mana saja bisa ku tarik dengan tanganku, subhanallah, maha besar ilmu
dari Allah, benar memang semakin kita banyak tau, maka akan makin banyak
yang belum kita tau, dan haus akan ilmu, makin tak terbendung, ingin
terus nambah saja ilmu.
Apalagi akhir-akhir ini, makin banyak
kejadian ku alami, beruntun dan serasa berat menanggungnya, makin aku
sadar kalau itu semua adalah cara Allah menggemblengku untuk menjadi
orang yang sanggup memegang amanah yang dibebankan ke pundakku, setelah
tau itu, segala ujian itu malah serasa ringan, dan malah ketagihan ingin
di-uji dan di-uji, jika mengingat anugerah yang diberikan padaku, maka
segala ujian itu tak memberatkan sama sekali, pantesan guruku begitu
senangnya menerima ujian, dan tak mau menolaknya sama sekali.
Yang ku rasakan manfaat dari ujian yang
bertubi-tubi yang ku terima itu adalah, para guru besar, seperti syaikh
Abdul Qodir Jailani RA, syaikh Nawawi, syaikh Abdul Karim Tanahara, dan
ahli silsilah TQNS semua hadir ketika ada pengajian thoreqoh di rumahku,
dan malaikat yang hadir berlapis-lapis, sampai tembus langit, berbaris,
malah sering ketangkap kamera yang memotret, dan yang hadir dari dunia
jin juga sampai memenuhi semua tempat, yang aneh malah yang dari manusia
jarang ada yang ikut. Tetangga saja jarang ada yang ikut, ya biarkan
saja.
Sebenarnya aku sendiri juga tak tau kalau
mereka ikut, tauku diberi tau Aisyah, biasanya Aisyah akan memberitahu
siapa saja yang hadir di pengajian,
“Kyai… wah Aisyah tak berani ikut di dalam majlis kyai.”
“Kenapa nduk?”
“Aisyah silau.”
“Silau kenapa nduk?”
“Di samping kanan kiri kyai, dari syaikh
Abdul Qodir, syaikh Abdul Karim, syaikh Tolkhah, syaikh Nawawi, syaikh
saya tak tau lagi kyai, banyak sekali semua hadir, dan yang sering hadir
syaikh Magrobi dengan anaknya.”
“Siapa syaikh Maghrobi?”
“Itu kyai yang tinggal di Gresik.”
“Apa mereka dari bangsa jin?”
“Bukan kyai, mereka dari ruh, wah silau sekali kyai, belum lagi para malaikat yang hadir, sampai tembus langit tuju berbaris.”
“Apa bener nduk?”
“Ya benar lah kyai, masak Aisyah bohong,
nanti masuk neraka, juga kuwalat kalau bohong sama guru, Aisyah siap
diperintah kyai, Aisyah siap mati untuk kyai…”
Aku jadi terharu, mendengar ucapan Aisyah.
“Kyai…”
“Ada apa nduk?”
“Anu anaknya syaikh Magrobi, cuaaantiik sekali.”
“Cantik mana sama Aisyah?”
“Wah cantik dia kyai, pakaiannya hijau, kerudungnya hijau, wajahnya putih seperti susu, dan hidungnya mansuung.”
“Coba tanya dia, apa mau jadi istri kyai?”
Aisyah terdiam.
“Ah kyai… la bu nyai mau dikemanakan?”
“Ya kan boleh saja punya istri 2, 3, 4.”
“Iya deh Aisyah tanyakan.”
Sebentar dia diam….
“Kyai… dia katanya masih mau sama abinya… katanya kalau mau melamarnya, diminta minta sama abinya.”
“Iya deh nanti kyai minta sama abinya..”
“Dia malu kyai..”
“Ya biar… dia sendiri yang nyuruh kyai minta sama abinya.”
“Ee dia kabur, malu… heheheh… lucu.. manusia… heheheh…”
___________________________________________________
Pagi-pagi… habis hujan gerimis, serasa malas sekali mau tidur, padahal semalaman belum tidur , Aisyah memanggil.
“Kyai…”
“Ada apa nduk…” kataku.
“Ada yang mencari kyai…”
“Di mana?”
“Di sumur sana..”
“Mau apa, coba tanya nduk siapa dia, mau apa?”
“Dia bernama syaih Tolkhah dari Kalisapu Cirebon.”
“Syaikh Tolkhah, gurunya Syaikh Mubarok bin Nur Muhammad?”
“Iya kyai…”
“Mau apa dia di situ.”
“Dia bilang ingin memberi ilmu pada kyai..”
“Ooo… ya kyai siap.”
“Kyai…” panggil Aisyah, biasa dia kalau omong sambil matanya kesana kesini.
“Ada apa nduk.”
“Tadi syaikh Tolkhah mengisi sumur.”
“Mengisi dengan apa nduk.”
“Diisi karomah kyai, air sumurnya jadi bergolak.”
“Oo ya ndak papa… ini kyai sudah siap.”
“Iya syaikh Tolkhah sudah ada di belakang kyai.”
Ku rasakan tangan dingin, menempel di
punggungku, dan aliran energi masuk ke tubuhku, tubuhku serasa panas.
Dan pengisian selesai.
“Kyai , syaikh Tolkhah berpesan supaya
ilmu yang diberikan dipakai berjuang di jalan Allah. Semua guru akan
mendukung kyai di belakang.”
“Iya katakan pada syaikh Tolkhah, kalau
kyai insaAllah siap lahir batin memperjuangkan dan insaAllah menjalankan
amanah yang diberikan sekuatnya.”
“Iya kyai,,, syaikh Tolkhah akan kembali, kyai diminta mencium tangannya.”
Aku segera melakukan seperti mencium tangan, ya memang repot memang kalau mata batinku tertutup, karena tertutup oleh Saehuni.
__________________________________________________
Aku lagi makan siang.
“Kyai…. ada syaikh Abdul Qodir Jailani.”
“Mana?”
“Itu di belakang kyai… wah saya tak berani menatap kyai..”
“Kenapa?”
“Silau sekali.”
“Salam ta’dzim kyai, sampaikan pada syaikh Abdul Qodir RA,”
“Ya kyai, beliau menjawab salam dan tersenyum ke kyai.”
“Kyai dia memberi ilmu ke Aisyah dan ke kyai..”
“Ilmu apa nduk?”
“Ilmu untuk menarik jin dari jarak jauh,
kalau jinnya fasik, kata beliau, suruh diremas saja, jadi bubuk, nanti
jinnya akan mati.”
“Iya nduk kyai siap menjalankan.”
“Kyai, syaikh Abdul Qodir mau membuka mata batin kyai…”
“Iya kyai siap, dan sami’na wa ato’na.”
Serasa di dadaku ada yang bergerak, serasa dingin, beberapa menit berlalu.
“Kyai, syaikh Abdul Qodir mau pergi, kyai diminta mencium tangannya..”
“Kok aku belum terlihat jelas alam gaib?”
“Kata syaikh Abdul Qodir, nanti bisa dipakainya, 4 hari kemudian.”
“Oo yaa.. ya… katakan, kyai mengucapkan terimakasih.”
Aku segera melakukan seperti mencium tangan beliau yang mulia.
Hening…. aku dan Aisyah diam lalu Aisyah nyeletuk kembali.
“Kyai, ada yang datang… ah Aisyah pergi saja..”
“Kenapa kok pergi…?”
“Silau pak kyai…”
“Sudah di sini saja, siapa yang datang?”
“Bertiga kyai.”
“Siapa?”
“Ada Raden Rohmad Sunan Ampel, Sunan Kalijaga, dan Sunan Giri, sekarang mereka ada di depan kyai semua.”
Aku segera menyalami mereka bertiga.
“Ada apa nduk, tanya keperluan mereka.”
“Mereka mau memberi ilmu pada kyai, mereka mengatakan kyai untuk siap menerima ilmu.”
Aku segera siap, dan serasa aliran anergi
bergulung-gulung memasuki tubuhku, dan beberpa menit kemudian, aliran
energi menggumpal dalam tubuhku, berputar-putar.
“Kyai, kata Kanjeng Sunan Ampel, para
Wali Songo, nitip salam pada kyai, agar kyai meneruskan perjuangan
menegakkan kebenaran, dan bersikap tegas, dan yakin akan pertolongan
Allah.”
“InsaAllah kyai siap.”
“Sudah mereka mau pamit.”
Aku dan Aisyah terdiam mengantar
kepergian ketiga Wali Songo, tapi kemudian Aisyah ngomong lagi, tapi
sambil menjauh dariku, sehingga aku tak jelas dengan pembicaraannya.
“Kenapa nduk?”
“Aisyah takut kyai..”
“Takut kenapa? Apa ada jin jahat?”
“Bukan kyai.. tapi yang hadir sekarang, silauuuu sekali, dan Aisyah takut sekali.”
“Yang datang bagaimana dia nduk?”
“Dia tinggi sekali, sampai kepalanya sampai atas..”
“Dari golongan jin?”
“Bukan kyai…”
“Lalu?”
“Dia nabi…”
“Nabi, nabi siapa?”
“Pakaiannya hijau tua, juga memakai
surban besar hijau tua, dia mengatakan beliau nabi Khaidir.., beliau
uluk salam kepada kyai.”
“Waalaikum salam. Tanyakan apa keperluan beliau?”
“Beliau ingin memberi ilmu ke kyai, tapi
kata beliau, ini sekuatnya kyai saja menerima… nanti ditambah lagi, dan
beliau menyuruh agar kyai siap.”
Aku segera siap, dan aliran panas dingin
berpadu memenuhi punggungku, mengalir deras seperti banjir dalam seluruh
tubuhku, dan pengisian selesai.
“Kyai, beliau berpesan agar ilmu yang
diberikan dipakai seefektif mungkin, gunakan berjuang untuk menegakkan
kebenaran dan menumpas kebatilan.”
“Insa Allah.”
“Beliau berpesan, dzikirnya kyai lebih
diperbanyak lagi, agar ruhani kyai kuat menerima ilmu dari para wali dan
nabi yang ingin menitipkan amalnya pada kyai.”
“InsaAllah…”
“Beliau mau pamit…, dan Aisyah diperintah untuk mendampingi kyai.”
“Ya…”
Aku segera melakukan salam takdzim kepada nabi Khaidir AS.
____________________________________________________
Nyai Ratu, kakaknya Aisyah, sudah selesai
puasa, dan ingin ku perintahkan untuk mendatangi Nyai Roro Kidul,
penguasa laut selatan. Maksudku kalau mau, mau ku ajak masuk Islam,
sebagaimana aku mengislamkan Dewi Lanjar.
Nyai Ratu sudah siap berangkat, tinggal menunggu perintah dariku.
Aku sedang berbicara dengan Aisyah, lalu
cuci tangan ke dapur, kok aku merasa ada jin fasik yang datang, apa
mungkin Nyai Roro Kidul, jin fasik dan jin yang baik itu beda, walau
mata batinku tertutup, tapi ketajaman indra perasaku tak terpengaruh,
jadi siapa yang datang, jin benar atau bukan tetap ku rasakan
kehadirannya.
Jika itu jin fasik, maka akan serasa
menebal amat tebal, bagian arah tubuh yang menghadap ke jin, tapi jika
jinnya baik, muslim yang taat, maka hanya ada rasa tau kalau ada yang
datang, tapi tak tau dan tak melihat siapa yang datang.
Kali ini yang ku rasakan, rasa tebal di kepala sangat tebal, perkiraanku adalah jin fasik, apa mungkin Nyai Roro Kidul.
Sementara Aisyah sudah memangil-manggil, kyai ada yang datang, dari laut selatan. Dan sudah masuk ke tubuh Aisyah.
“Siapa? Apa Nyai Roro Kidul?” tanyaku lumayan tegang.
Dia melihatkan matanya kesana kesini… meneliti seluruh rumahku.
“Ini rumah siapa?” suaranya seperti anak kecil.
“Ini rumahku..” jawabku.
“Kamu siapa?”
“Aku orang biasa, kamu sendiri siapa?”
“Aku anaknya Nyai Roro Kidul.”
“Kok datang ke sini?”
“Ya karena ada yang membicarakan ibuku, maka aku ingin tau siapa, ternyata ada di sini, dan aku terbawa sampai kesini.”
“Ibumu yang jadi ratu lautan selatan kan?” tanyaku.
“Iya… kenapa?”
“Agamanya apa?”
“Hindu… kenapa?”
“Apa dia mau masuk Islam?”
“Tak akan mau,”
“Kenapa?”
“Karena kami benci dengan orang Islam.”
“Benci bagaimana?”
“Orang Islam sering membuat kerusakan.”
“Kerusakan bagaimana?”
“Ya mereka sering merusak laut, sering meminta kekayaan.”
“Jangan menuduh apa yang dilakukan segelintir orang, lantas menuduh yang lain sama saja,”
“Ah kenyataannya begitu.”
“Ada pencuri yang dari kampung A, apa semua kampung A adalah pencuri?”
“Aku tak perduli, ibu selalu mengatakan padaku kalau orang Islam itu jahat.”
“Bisa kamu panggil ibumu kesini?”
“Bisa..”
Sebentar dengan hitungan seper sekian detik, Nyai Roro Kidul sudah datang dan masuk ke tubuh mediator.
“Ada apa kau memanggilku?”
“Aku ingin nyai mau masuk Islam,”
“Tak mau, aku tau kau siapa… hm… ya aku tau sekali kamu siapa… kamu murid kyai Cilik.”
“Setelah tau diriku, apa masih tak mau masuk Islam?”
“Hehehe… aku tak mau..”
“Apa mau coba adu kesaktian denganku.”
“Ya… kau akan ku hancurkan.” katanya dengan mendengus marah, dan mulai melakukan jurus menyerang.
Berbagai macam penggambaran Nyai Roro
Kidul, momok yang sering ku baca di cerita-cerita sungguh amat
menakutkan, juga banyak dibahas di tivi dan media lain, selalu berbau
mistik dan serba menakutkan, itu membuatku ingin tau lebih banyak.
“Tunggu dulu, kenapa buru-buru menyerang?”
“Heee… eeh, apa lagi?”
“Apa sampean ini yang benar-benar
menguasai samudera yang terkenal itu?” tanyaku berusaha tenang. Kayak
orang lagi duduk jagong, menghabiskan cemilan jagung goreng.
“Hiya….” jawabnya sambil tangannya masih
bersiap menyerang, dan yang kiri menekuk di dada. Gak tau jurus apa yang
dipakai, tapi ku rasa hebat juga dia, biasanya jin jika bertatap muka
denganku, saling menatap mata pasti tak kuat, tak tau juga apa yang di
mataku, kata Aisyah sih mataku kalau memandang seringnya mengeluarkan
percikan api, aku juga gak tau, kali saja Aisyah yang ngarang.
“Apa sampean bener-bener tak mau ku Islamkan?”
“Tak mau, saya sudah bersumpah untuk tak masuk Islam.”
“Sumpah sama siapa?”
“Dengan yang memberi ilmu padaku, ah tak usah banyak tanya…”
“Lo kan biar kita saling tau..”
“Pokoknya aku tak mau diIslamkan, orang Islam semua jahat, jelek perangainya.”
“Jelek bagaimana?”
“Mereka sering meminta padaku yang tidak-tidak, dan sikapnya hanya merusak samudra saja.”
“Lhoh kok begitu..?”
“Ya.”
“Berarti kata gampangnya nyai tak mau ku Islamkan?”
“Ya..”
“Jadi kita adu kekuatan.”
“Ya….”
Kami pun adu kekuatan, dan berkali-kali
kami saling serang, kadang aku keluarkan cambuk api, ku serang
bertubi-tubi, awal serangan dia tergetar, tapi ke dua ke tiga dia sudah
mempan, ku ganti dengan pedang, juga pertama kali dia mampu ku lukai,
tapi kedua kali dan ketiga dia kebal, berulang kali benturan energi, aku
makin semangat, rasanya langka bisa bertarung dengan Ratu Kidul,
sekalian nyoba ilmuku, yang sebenarnya aku juga gak tau, aku ini punya
ilmu atau bukan, yang jelas keringetan juga, bertarung dengan berbagai
ilmu ku ganti untuk menggempurnya, dan berulang kali dia jatuh terhantam
pukulanku, jadinya kayak latihan saja, soale Nyai Roro Kidul tak pernah
sampai jika menyerangku, selalu saja dapat ku gempur duluan, sampai dia
ngos-ngosan, mungkin dipikirnya, kok ilmuku gak habis-habis, banyak
banget koleksi ilmuku, padahal itu hanya hayalku saja, ilmu yang ku
ciptakan di hayalku.
Dia terdiam, ngos-ngosan tak berdaya, lalu berusaha memperbaiki duduknya, dan menyembah padaku.
“Aku menyerah, dan takluk, dan siap mengabdi padamu.” katanya berubah lembut, tak seperti pertama kali datang.
“Aku ini tak butuh pengabdian, aku hanya ingin nyai masuk Islam, jadi mengabdi padaku mau, tapi kalau masuk Islam tak mau?”
“Ya, aku tak bisa masuk Islam.”
“Kalau tak mau masuk Islam, ya sudah kita bertarung lagi.”
“Tidak, aku menyerah kalah… kamu sakti sekali.”
“Hehehe… aku tak sakti, aku biasa saja…”
“Tidak, selama ini tak ada yang bisa mengalahkanku, hanya kamu yang bisa mengalahkanku.”
“Itu kebetulan saja, bagaimana ini, tak mau masuk Islam?”
“Tidak, sekali tidak ya tidak.., aku tak mau masuk Islam.”
“Kalau begitu kamu mati saja… dan ku masukkan ke neraka, apa kamu tak takut.”
“He.. he… he.. silahkan kalau bisa membunuhku dan memasukkanku ke neraka.”
“Baik kamu yang minta.”
Segera saja ku berdoa, dan ku minta pada
Allah diberi kekutannya malaikat maut ke tanganku, di tanganku serasa
mulai memberat, tanda kekuatan malaikat maut sudah terkumpul di tangan,
rasanya udara juga serasa pekat, dan padat, sepertinya tanganku
mengeluarkan cahaya hitam menggidikkan, segera saja ku arahkan energi
menyerang ke kepalanya, ku tangkap ruhnya, dan ku cabut, ya hanya hayal
saja, jangan dikira ini serius, tapi efeknya nyata, ruh Nyai Roro Kidul
lepas, dan serasa ada di tanganku, rasanya dingin, menggeliat, dan
segera saja ku lempar ke neraka jahanam.
Suasana sunyi, mediator sadar, tapi segera kemasukan lagi.
“Siapa?”
“Aku suami Nyai Roro Kidul, dia telah kamu masukkan ke neraka,”
“Iya…”
“Kamu harus mengadu nyawa denganku.”
Dia langsung menyerangku, tanpa pikir
panjang karena kekuatan malaikat maut masih terpegang di tanganku, maka
segera saja ku tarik nyawanya dan ku lempar ke neraka.
Kembali suasana tenang, tapi kembali, datang jin lain yang masuk.
“Siapa?”
“Aku orang tuanya Nyai Roro Kidul.”
“Lalu mau apa?”
“Kau telah melemparkan nyai Roro Kidul ke neraka. Aku mau menuntut balas.”
“Silahkan…” kataku, dan siap-siap
mencabut nyawanya, kalau dia menyerang, dan memang dia menyerang, aku
tak mau banyak bahasan, juga bertarung dengan sia-sia, maka ku cabut
nyawanya dan ku lempar ke neraka. Mediator kemasukan lagi,
“Kamu nakal, kenapa ayah ibuku, dimasukkan ke neraka?”
“Ooo kamu anaknya yang tadi?”
“Huuu… huuu,,, ya aku anaknya tadi….
huuu… aku sekarang sendirian, aku dengan siapa? Ayah ibu, kamu masukkan
ke neraka, aku ikut.”
“Hah, kamu mau ikut? Mereka di sana disiksa..”
“Disiksa bagaimana?”
“Kamu ingin melihat?”
“Iya..”
Lalu ku buka penglihatannya…
“Ibu…. ayah… kasihan mereka dibakar, dicambuki, sampai hancur..”
“Bagaimana? Apa masih mau ikut?”
“Tidak…, tapi aku sendirian, aku tak punya ayah ibu.”
“Ya ayah ibumu akan dikeluarkan dari neraka, kalau mereka bertaubat, dan mau masuk agama Islam.”
“Kau jahat, orang Islam jahat.”
“Aku melakukan ini, agar ayah ibumu nanti bahagia, masuk surga, bagaimana kamu mengatakan aku jahat?”
“Pokoknya kamu jahat.”
“Bagaimana, kamu mau masuk Islam.”
“Tak mau, karena ayah ibuku mengatakan kalau orang Islam jahat.”
“He dengar, kamu masuk Islam, nanti
berdoa pada Allah, agar ibumu, diberi hidayah sama Allah, agar mau masuk
Islam, nanti beliau diambil dari neraka.”
“Apa bisa?”
“Ya bisa..”
“Kalau begitu saya mau masuk Islam.”
“Bener..”
Ku minta pada malaikat maut, melihat
hatinya, jika hatinya mau masuk Islam, ku minta untuk tak dicabut
nyawanya, tapi kalau tidak mau masuk Islam, ku pinta mencabut nyawanya.
Dan malaikat maut pun mencabut nyawanya, tanda kalau dia hanya pura-pura masuk Islam.
Setelah nyawa anak Nyai Roro Kidul
dicabut dan dibawa ke neraka, maka silih berganti berdatangan prajurit
Nyai Roro Kidul menyerangku. Aku sudah lelah, segala urusan ku serahkan
pada malaikat maut yang melakukan perlawanan, sementara syaikh Abdul
Karim di sebelah kananku dan kyai guruku di sebelah kiriku, dalam wujud
sukma.
Alhamdulillah semua lancar, walau anak
buah Nyai Roro Kidul, masih banyak yang mau menyerang, dari pada aku
digempur duluan, maka ku kirim malaikat untuk menggempur kerajaan
samudra.
Setelah sepersekian menit berlalu, aku berpikir, wah bisa jadi kerajaan sana tak ada pemimpinnya, bagaimana ini.
“Aisyah…”
“Ya kyai.., Aisyah takut, karena pak kyai menyeramkan, galak sekali.”
“Aisyah tau tidak dengan nyai Ratu Pantai Selatan.”
“Tau pak kyai, kenapa pak kyai…”
“Dia Islam kan?”
“Iya dia Islam pak kyai.”
“Ku panggilnya ya..”
“Ya kyai… terserah bagaimana kyai saja lah..”
Maka ku panggil nyai Ratu Pantai Selatan, dan tak sampai 1 menit dia sudah datang.
Lagak lagunya sangat halus, dia menghormat padaku dengan menaruh tangan di dada, dan wajah menunduk, serta mengucap salam.
“Ada perlu apa, pak kyai memanggil saya?”
“Kenal siapa saya.”
“Ya saya tau, siapa pak kyai.”
“Sampean sudah Islam kan?”
“Alhamdulillah sudah pak kyai, kenapa?”
“Dulu yang mengislamkanmu siapa?”
“Itu pak kyai, yang mengislamkanku, wali songo.”
“Sunan Kali Jaga?”
“Iya pak kyai.”
“Ini begini nyai ratu…., sekarang samudra
selatan, kan tak ada yang menjadi ratu… nah nyai ini saya serahi
menjadi raja di sana mau tidak?”
“Saya siap menjalankan.”
“Apa tak ingin jadi muridku?”
“Mau kyai, kalau kyai sudi mengangkat hamba menjadi murid, hamba akan sangat senang.”
“Baiklah, kalau begitu, ini ku beri cambuk untuk menjaga, menjadi ratu di laut,” dia ku suruh menerima cambuk yang ku berikan.
“Kyai saya mau mohon diri dulu, sekali lagi terima kasih telah mengangkatku menjadi murid kyai.”
“Nanti belajar cara dzikirnya, nanti minta ajar pada mbakyunya Aisyah.”
“Iya kyai, saya mohon diri dulu.” nyai ratu pun keluar.
Esoknya aku dikeroyok, dukunnya Sengkuni,
dan anak buahnya Nyai Roro Kidul, pasukannya ada 1 juta jin. Bersama
ruh manusia yang menyembah Nyai Roro Kidul. Aku jadi harus menghadapi 3
kelompok, yang ketiganya ingin menggencetku dengan serangan, serasa
merinding, tapi aku harus tabah dan kuat, Alhamdulillah, guru silsilah
dari mulai syaikh Abdul Qodir, sampai pada guruku, semua dalam keadaan
siaga. Semua mendampingiku, 1 juta jin anak buahnya Nyai Roro Kidul
sekaligus datang, masuk semua ke mediator.
Mereka menatapku semua, dengan tatapan mata benci dan dendam.
“Dari pasukannya Nyai Roro Kidul?” tanyaku simpel.
“Iya… kami akan menyerang semuanya.”
“Apa masih ada yang belum datang?”
“Ada.. para arwah dukun yang menyembah nyai, sekarang masih di atas.”
“Suruh sekalian masuk, sekalian mengeroyokku.” kataku.
Maka masuk ada sekitar 600 ruh para dukun yang menyembah Nyai Roro Kidul.
Suasana menjadi tegang, dan udara juga di
sekitarku juga mulai memadat, aku sengaja ajak mediator mojok, agar
serangan tak mengenai orang lain.